Kamis, 03 Maret 2016

Demokrasi Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai. Mereka tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.
Dalam sebuah system demokrasi, rakyat adalah sumber hukum, dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu. Demokrasi juga sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Dari sudut pandang islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem pemerintahan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Dalam agama Islam, Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Pada makalah kali akan memaparkan tentang penerangan mengenai demokrasi dalam Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian demokrasi?
2.      Bagaimana keterkaitan Islam dan demokrasi?
3.      Bagaimana ciri demokrasi dalam pandangan islam?
4.      Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip dalam demokrasi Islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui keterkaitan Islam dan demokrasi
2.      Mengetahui ciri demokrasi dalam Islam
3.      Mengetahui prinsip-prinsip dalam demokrasi Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang artinya rakyat dan Kratos yang artinya pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi adalah kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat, keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat, kekusaan tertinggi berada dalam keputusan, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Secara terminologis, pengertian demokrasi menurut para ahli yaitu:
1.         Joseph A.Schmeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencanaan indtitusional untun mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2.         Sidney Hook berpendapat, demokrasi adalah bentuk pemeritahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang di berikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3.         Philippe C. Schemitter dan Terry Lynn Karl menyatakan, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah pulik oleh warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.


Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut aristokrasi.

B.     Keterkaitan Islam dan Demokrasi
Demokrasi merupakan sebuah metode untuk menata dan mengatur masyarakat. Penghormatan terhadap suara mayoritas dan kebebasan pribadi dan warga masyarakat dan sebagainya merupakan tipologi nyata demokrasi.
Kendati tidak terdapat keniscayaan antara mayoritas (aktsariyyah) dan kebenaran (haqqaniyah), akan tetapi suara mayoritas atau akseptabilitas dapat menjadi bekal dan modal utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan. Dalam perspektif Islam, selama masyarakat dan suara mayoritas tidak menerima sebuah pemerintahan maka secara praktis tidak akan terbentuk sebuah pemerintahan.
Dalam pandangan Islam, masyarakat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan dalam pemerintahan Islam mereka dapat menghirup udara kebebasan personal dan sosial.
Akan tetapi Islam, tidak menerima sebagian wacana demokrasi yang dikembangkan oleh Barat. Dalam Islam, apabila suara mayoritas bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaan (karâmah) manusia maka suara mayoritas tersebut tidak bernilai apa pun dan juga tidak memiliki legalitas dalam pandangan Islam. Banyak wacana lain demokrasi lebih baik dan menawan dipraktikkan dalam Islam ketimbang apa yang dijalankan Barat. Dengan kata lain, agama dan demokrasi tidak bertentangan secara keseluruhan juga tidak sejalan secara keseluruhan. Pada hakikatnya apa yang diterima Islam adalah demokrasi agamis.
Islam sangat singkron dengan pilar-pilar demokrasi. Beberapa diantaranya bahkan memiliki prinsip kesamaan. Hubungan Islam dengan demokrasi dapat ditelaah berdasarkan tiga hal berikut ini:
1.      Konstitutional
Jika melihat pada sejarah, pemerintahan Islam selalu berdasarkan Konstitusional. Hak dan kewajiban rakyat diatur pada hal ini. Hanya saja pada pemerintahan Islam, sumber konstitusi berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Beberapa konstitusi lain juga dapat dijadikan pedoman selama tidak bertolak belakang dengan hakikat Al-Quran dan Sunnah. Hanya rakyat yang bisa mengubah atau mengatur kembali konstitusi. Berdasarkan hal ini pemerintah Islam sangat jauh dari nilai-nilai kepemimpinan otoriter.
2.      Partisipatoris
Sistem demokrasi yang menganut partisipan dari berbagai pihak sebenarnya juga terdapat dalam sistempemerintah Islam. Ciri-ciri itu dapat dilihat dari tatanan yang dibangun pemerintah Islam. Seperti proses pemilihan umum yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam memilih pemimpin baru. Dalam Islam partisipatoris dengan istilah lain yaitu Syura.
3.      Akuntabilitas
Islam sangat memegang teguh prinsip kejujuran. Segala sesuatu dan tindakan bertanggung jawab langsung pada Allah SWT.pada tataran akuntabilitas ini, pemimpin system pemerintahan Islam memiliki tanggung jawab besar terhadap dua hal yaitu terhadap Tuhan dan juga terhadap manusia.


C.    Ciri-ciri Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Ciri-ciri demokrasi menurut pandangan Islam yaitu:
1.      Berada di bawah payung agama Islam
2.      Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam
3.      Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah
4.      Suara mayoritas tidak bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah
5.      Musyawarah hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; manusia hanya boleh membahas mengenai masalah yang bersifat teknis
6.      Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama Islam
7.      Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

D.    Prinsip-Prinsip Dalam Demokrasi Islam
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi :
1.      Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.



2.      Al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya.
3.      Al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
4.      Al-Amanah
Adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
5.      Al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.



6.      Al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Dalam kitab-kitab ushul fiqh diuraikan tentang lima prinsip dasar yang harusdijaga, yaitu:
1.      Memelihara agama (Hifdh al-ddin).
2.      Memelihara jiwa(Hifdhal nafs).
3.      Memelihara harta(Hifdh al maal).
4.      Memelihara keturunan(hifdhal nasl), dan
5.      Memelihara akal(Hifdh al aql).
Melihat nilai-nilai filosofis yang dikemukakan diatas, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara islam sebagai ajaran dan demokrasi, karna islam adalam adalah sistem nilai bukan teori yang bersifat teknis, sebab andaikata islam (alQur`an dan Hadis) membicarakan teori itu berarti Al Quran tidak bisa berlaku sepanjang masa. Sementara tata sistem sosial dan pemerintahan bisa saja berganti menuju sistem yang lebih baik sebagaimana kita lihat dalam sejarah demokrasi.
Di sisi lain, ilmuwan-ilmuwan barat yang notabene-nya adalah non islam banyak yang pesimis terhadap perkembangan demokrasi dalam dunia keislaman, walaupun tidak secara keseluruhan pandangan pesimis mereka salah, sebab memang cara pandang mereka lebih banyak dipengaruhi oleh praktek islam yang berarti juga sejarah masyarakat islam dimana sering kontradiktif dengan islam sebagai ajaran. Menarik pendapat yang dikemukakan oleh Rousseau dalam  sosial contac-nya ia mengemukakan ”Mohammad had very sound oppinions taking care to giveunity to his political system, and for as long as form of his government endured under the chaliphs who succeeded him, the government was undivided and, tothat extant,good”dan pengakuan weeramantry dalam bukunya Islamic jurisprudasce: An International perspective,terbitan Macmillan Press, dia mengatakan ” Indeed there are many specific refrences to the Qur`an and theislamic law in the writings of Montesquiu”
Dengan melihat landasan perbedaan pandangan para pemikir tersebut nampaklah di hadapan kita bahwa sumber perbedaan sudut pandang antara yang pro dan kontra terhadap demokrasi dalam pandangan islam berawal dari cara pandang mereka yang berbeda, pandangan yang pesimis bersumber dari islamsebagai sejarah yang memberikan kesan ”pahit” dan pandangan yang optimis berangkat dari islam sebagai ajaran, dimana islam sebagai ajaran tidak pernah mempersoalkan sebuah sistem bermasyarakat dan bernegara tetapi lebih menitik  beratkan pada substansi dari semua sistem yang ada, jika substansi sebuah sistemtidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan maka sistem itu sesuai dengan islam sebagai ajaran, namun sebaliknya jika bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan maka apapun nama sistem dan sebaik apa pun sistem pasti akan dikoreksi oleh generasi penerusnya.

E.       Piagam Madinah
     Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah. Ketika Rasulullah SAW telah menetap di Madinah, dan beliau ingin mengatur hubungan antara penduduk Madinah, beliau membuat sebuah surat perjanjian mengenai itu. Didalam sumber - sumber yang lama perjanjian ini dikenal dengan nama "Kitab", atau "Shahifah", sementara para penulis modern menyebutnya sebagai "Dustur (undang - undang)", atau "al-Watsiqah (Piagam Perjanjian)".
     Mengingat pentingnya piagam perjanjian ini, dan ketergantungan para peneliti modern terhadapnya, yang menjadikannya sebagai dasar dalam meneliti strategi Rasulullah SAW dalam menata masyarakatnya di Madinah al-Munawwarah, serta meneliti sistem negara Islam dan hubungannya dengan negara dan agama lain, dan juga sistem politik dalam negara Islam, maka dimunculkan pembahasan ini secara singkat. Isi dari Piagam Madinah :
1.      Butir - butir piagam yang berhubungan dengan kaum muslimin
a.       Kaum mukminin, baik yang berasal dari Quraisy maupun yatsrib, dan orang - orang yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka, dan berjihad bersama mereka, adalah satu umat, yang berbeda dari umat manusia lainnya.
b.      Setiap kelompok dari kaum mukminin (Muhajirin, Bani Sa'idah, dari Aus . . .) boleh tetap berada dalam kebiasaan mereka yaitu tolong menolong dalam membayar diat diantara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil diantara mukminin. Sesungguhnya kaum mukminin tidak boleh membiarkan orang yang menanggung beban berat (karena memiliki keluarga besar dan hutang diantara mereka, namun mereka harus, penerj-) membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diyat.
c.       Orang - orang mukmin yang bertakwa harus menentang orang yang zalim diantara mereka. Kekuatan mereka bersatu  dalam menentang yang zhalim, meskipun yang zhalim adalah anak dari salah satu seorang diantara mereka.
d.      Jaminan Allah itu satu. Allah memberikan jaminan sampai kepada kaum muslimin yang paling rendah sekalipun. Dan sesungguhnya mukminin itu saling membantu diantara mereka, tidak dengan yang lain.
e.       Sesungguhnya kaum yahudi yang mengikuti kaum mukminin berhak mendapatkan pertolongan dan santunan, selama kaum yahudi ini tidak menzhalimi kaum muslimin dan tidak bergabung dengan musuh dalam memerangi kaum muslimin.
2.      Butir - butir piagam yang berhubungan dengan kaum musyrikin
a.       Kaum Musyrik madinah tidak boleh melindungi harta atau jiwa kaum kafir Quraisy (Makkah) dan juga tidak boleh menghalangi kaum Muslimin darinya.
b.      Orang - orang quraisy dan para sekutunya memiliki hak untuk berdamai jika mereka memintanya, Kecuali orang yang memerangi Islam dari mereka.
           Orang - orang kafir Quraisy tidak diberi jaminan keamanan, dan begitu pula yang membantu mereka.


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik. Demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi umumnya, dalam islam system demokrasi lebih mengutamakan pada



DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshor. 2002. Islam dan Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: Penerbit NFS dan Pusat Studi Islam Paramadina.

Mernissi, Fatima.1994. Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Yogyakarta. Penerbit LKIS.


 

0 komentar:

Posting Komentar