BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi
pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang
untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan
komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah
orang yang mereka sukai. Mereka tidak boleh dipaksa untuk
memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau
tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang
melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika
menyimpang.
Dalam sebuah system
demokrasi, rakyat adalah sumber hukum, dan hukum pada gilirannya berfungsi
menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang
memiliki kedaulatan itu. Demokrasi juga sering diartikan sebagai penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum.
Demokrasi sering
diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi
dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini
kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality
(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Dari sudut pandang
islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan bahwa hukum yang dibuat oleh
sebuah sistem pemerintahan dipandang tidak sah karena ia menggantikan
kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Dalam agama Islam, Tuhan adalah
satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi.
Secara
normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi
semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin
negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana
pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Pada
makalah kali akan memaparkan tentang penerangan mengenai demokrasi dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian demokrasi?
2.
Bagaimana keterkaitan Islam dan demokrasi?
3.
Bagaimana ciri demokrasi dalam pandangan islam?
4.
Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip dalam
demokrasi Islam?
C. Tujuan
1.
Mengetahui keterkaitan Islam dan demokrasi
2.
Mengetahui ciri demokrasi dalam Islam
3.
Mengetahui prinsip-prinsip dalam demokrasi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Demokrasi
Secara
etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang artinya
rakyat dan Kratos yang artinya pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi adalah kekuasaan rakyat atau
pemerintahan rakyat, keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan
tertingginya berada di tangan rakyat, kekusaan tertinggi berada dalam
keputusan, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Secara
terminologis, pengertian demokrasi menurut para ahli yaitu:
1.
Joseph A.Schmeter
mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencanaan indtitusional untun mencapai
keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2.
Sidney Hook
berpendapat, demokrasi adalah bentuk pemeritahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang di berikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3.
Philippe C. Schemitter
dan Terry Lynn Karl menyatakan, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan
dimana pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah pulik oleh warganegara, yang bertindak secara langsung melalui
kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.
Aristoteles,
seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata
demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu
orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang
kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian
apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut
aristokrasi.
B.
Keterkaitan
Islam dan Demokrasi
Demokrasi
merupakan sebuah metode untuk menata dan mengatur masyarakat. Penghormatan
terhadap suara mayoritas dan kebebasan pribadi dan warga masyarakat dan
sebagainya merupakan tipologi nyata demokrasi.
Kendati
tidak terdapat keniscayaan antara mayoritas (aktsariyyah) dan kebenaran
(haqqaniyah), akan tetapi suara mayoritas atau akseptabilitas dapat
menjadi bekal dan modal utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan. Dalam
perspektif Islam, selama masyarakat dan suara mayoritas tidak menerima sebuah
pemerintahan maka secara praktis tidak akan terbentuk sebuah pemerintahan.
Dalam
pandangan Islam, masyarakat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
dalam pemerintahan Islam mereka dapat menghirup udara kebebasan personal dan
sosial.
Akan
tetapi Islam, tidak menerima sebagian wacana demokrasi yang dikembangkan oleh
Barat. Dalam Islam, apabila suara mayoritas bertentangan dengan kehormatan dan
kemuliaan (karâmah) manusia maka suara mayoritas tersebut tidak bernilai
apa pun dan juga tidak memiliki legalitas dalam pandangan Islam. Banyak wacana
lain demokrasi lebih baik dan menawan dipraktikkan dalam Islam ketimbang apa
yang dijalankan Barat. Dengan kata lain, agama dan demokrasi tidak bertentangan
secara keseluruhan juga tidak sejalan secara keseluruhan. Pada hakikatnya apa
yang diterima Islam adalah demokrasi agamis.
Islam
sangat singkron dengan pilar-pilar demokrasi. Beberapa diantaranya bahkan
memiliki prinsip kesamaan. Hubungan Islam dengan demokrasi dapat ditelaah
berdasarkan tiga hal berikut ini:
1. Konstitutional
Jika melihat pada sejarah, pemerintahan Islam selalu
berdasarkan Konstitusional. Hak dan kewajiban rakyat diatur pada hal ini. Hanya
saja pada pemerintahan Islam, sumber konstitusi berasal dari Al-Quran dan
Sunnah. Beberapa konstitusi lain juga dapat dijadikan pedoman selama tidak
bertolak belakang dengan hakikat Al-Quran dan Sunnah. Hanya rakyat yang bisa
mengubah atau mengatur kembali konstitusi. Berdasarkan hal ini pemerintah Islam
sangat jauh dari nilai-nilai kepemimpinan otoriter.
2. Partisipatoris
Sistem demokrasi yang menganut partisipan dari
berbagai pihak sebenarnya juga terdapat dalam sistempemerintah Islam. Ciri-ciri
itu dapat dilihat dari tatanan yang dibangun pemerintah Islam. Seperti proses
pemilihan umum yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam memilih pemimpin
baru. Dalam Islam partisipatoris dengan istilah lain yaitu Syura.
3. Akuntabilitas
Islam
sangat memegang teguh prinsip kejujuran. Segala sesuatu dan tindakan
bertanggung jawab langsung pada Allah SWT.pada tataran akuntabilitas ini,
pemimpin system pemerintahan Islam memiliki tanggung jawab besar terhadap dua
hal yaitu terhadap Tuhan dan juga terhadap manusia.
C.
Ciri-ciri
Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Ciri-ciri demokrasi
menurut pandangan Islam yaitu:
1. Berada di bawah payung
agama Islam
2. Rakyat
diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam
3. Pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah
4. Suara
mayoritas tidak bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah
5. Musyawarah
hanya berlaku pada persoalan ijtihadi;
manusia hanya boleh membahas mengenai masalah yang bersifat teknis
6. Produk
hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama Islam
7. Hukum
dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
D.
Prinsip-Prinsip
Dalam Demokrasi Islam
Prinsip-prinsip demokrasi dalam
Islam meliputi :
1. Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara
pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik
kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura
adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini
lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau
khalifah.
2. Al-‘adalah
Adalah
keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh
kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya.
3. Al-Musawah
Adalah
kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.
4. Al-Amanah
Adalah
sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh
sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat
harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT
dalam Surat an-Nisa’:58.
5. Al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana
kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi
seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai
amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
6. Al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa
setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk
mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang
bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa
untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak
adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya
keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka
kezaliman akan semakin merajalela.
Dalam kitab-kitab ushul fiqh
diuraikan tentang lima prinsip dasar yang harusdijaga, yaitu:
1.
Memelihara agama (Hifdh al-ddin).
2.
Memelihara jiwa(Hifdhal nafs).
3.
Memelihara harta(Hifdh al maal).
4.
Memelihara keturunan(hifdhal nasl), dan
5.
Memelihara akal(Hifdh al aql).
Melihat nilai-nilai filosofis yang
dikemukakan diatas, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara islam sebagai
ajaran dan demokrasi, karna islam adalam adalah sistem nilai bukan teori yang
bersifat teknis, sebab andaikata islam (alQur`an dan Hadis) membicarakan teori
itu berarti Al Quran tidak bisa berlaku sepanjang masa. Sementara tata sistem
sosial dan pemerintahan bisa saja berganti menuju sistem yang lebih baik
sebagaimana kita lihat dalam sejarah demokrasi.
Di sisi lain, ilmuwan-ilmuwan barat
yang notabene-nya adalah non islam banyak yang pesimis terhadap perkembangan
demokrasi dalam dunia keislaman, walaupun tidak secara keseluruhan pandangan
pesimis mereka salah, sebab memang cara pandang mereka lebih banyak dipengaruhi
oleh praktek islam yang berarti juga sejarah masyarakat islam dimana sering
kontradiktif dengan islam sebagai ajaran. Menarik pendapat yang dikemukakan
oleh Rousseau dalam sosial contac-nya ia mengemukakan ”Mohammad had
very sound oppinions taking care to giveunity to his political system, and for
as long as form of his government endured under the chaliphs who succeeded him,
the government was undivided and, tothat extant,good”dan pengakuan weeramantry
dalam bukunya Islamic jurisprudasce: An International perspective,terbitan
Macmillan Press, dia mengatakan ” Indeed there are many specific
refrences to the Qur`an and theislamic law in the writings of Montesquiu”
Dengan melihat landasan perbedaan
pandangan para pemikir tersebut nampaklah di hadapan kita bahwa sumber
perbedaan sudut pandang antara yang pro dan kontra terhadap demokrasi dalam
pandangan islam berawal dari cara pandang mereka yang berbeda, pandangan yang
pesimis bersumber dari islamsebagai sejarah yang memberikan kesan ”pahit” dan
pandangan yang optimis berangkat dari islam sebagai ajaran, dimana islam
sebagai ajaran tidak pernah mempersoalkan sebuah sistem bermasyarakat dan
bernegara tetapi lebih menitik beratkan pada substansi dari semua sistem
yang ada, jika substansi sebuah sistemtidak bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan ketuhanan maka sistem itu sesuai dengan islam sebagai ajaran,
namun sebaliknya jika bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan
maka apapun nama sistem dan sebaik apa pun sistem pasti akan dikoreksi oleh
generasi penerusnya.
E.
Piagam Madinah
Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul
madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi
Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan
suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum
penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622.
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk
menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk
itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi
kaum Muslim, kaum Yahudi, dan
komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu
kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
Ketika Rasulullah SAW telah menetap di Madinah, dan beliau ingin mengatur
hubungan antara penduduk Madinah, beliau membuat sebuah surat perjanjian
mengenai itu. Didalam sumber - sumber yang lama perjanjian ini dikenal dengan
nama "Kitab", atau "Shahifah", sementara para penulis
modern menyebutnya sebagai "Dustur (undang - undang)", atau
"al-Watsiqah (Piagam Perjanjian)".
Mengingat pentingnya piagam
perjanjian ini, dan ketergantungan para peneliti modern terhadapnya, yang
menjadikannya sebagai dasar dalam meneliti strategi Rasulullah SAW dalam menata
masyarakatnya di Madinah al-Munawwarah, serta meneliti sistem negara Islam dan
hubungannya dengan negara dan agama lain, dan juga sistem politik dalam negara
Islam, maka dimunculkan pembahasan ini secara singkat. Isi dari Piagam Madinah :
1.
Butir -
butir piagam yang berhubungan dengan kaum muslimin
a.
Kaum mukminin, baik yang berasal
dari Quraisy maupun yatsrib, dan orang - orang yang mengikuti mereka, bergabung
dengan mereka, dan berjihad bersama mereka, adalah satu umat, yang berbeda dari
umat manusia lainnya.
b.
Setiap kelompok dari kaum mukminin
(Muhajirin, Bani Sa'idah, dari Aus . . .) boleh tetap berada dalam kebiasaan
mereka yaitu tolong menolong dalam membayar diat diantara mereka dan mereka
membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil diantara mukminin.
Sesungguhnya kaum mukminin tidak boleh membiarkan orang yang menanggung beban
berat (karena memiliki keluarga besar dan hutang diantara mereka, namun mereka
harus, penerj-) membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diyat.
c.
Orang - orang mukmin yang bertakwa
harus menentang orang yang zalim diantara mereka. Kekuatan mereka bersatu
dalam menentang yang zhalim, meskipun yang zhalim adalah anak dari salah
satu seorang diantara mereka.
d.
Jaminan Allah itu satu. Allah
memberikan jaminan sampai kepada kaum muslimin yang paling rendah sekalipun.
Dan sesungguhnya mukminin itu saling membantu diantara mereka, tidak dengan
yang lain.
e.
Sesungguhnya kaum yahudi yang
mengikuti kaum mukminin berhak mendapatkan pertolongan dan santunan, selama
kaum yahudi ini tidak menzhalimi kaum muslimin dan tidak bergabung dengan musuh
dalam memerangi kaum muslimin.
2.
Butir -
butir piagam yang berhubungan dengan kaum musyrikin
a.
Kaum Musyrik madinah tidak boleh
melindungi harta atau jiwa kaum kafir Quraisy (Makkah) dan juga tidak boleh
menghalangi kaum Muslimin darinya.
b.
Orang - orang quraisy dan para
sekutunya memiliki hak untuk berdamai jika mereka memintanya, Kecuali orang
yang memerangi Islam dari mereka.
Orang
- orang kafir Quraisy tidak diberi jaminan keamanan, dan begitu pula yang
membantu mereka.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan
Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah
keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah,
serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan
kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan
kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan
sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama,
demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi
kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan
senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah
bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki
untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau
membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas
agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan
ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran
dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar
dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi
oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang
islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga
atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga
aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen
atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang
Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik. Demokrasi
Islam berbeda dengan demokrasi umumnya, dalam islam system demokrasi lebih
mengutamakan pada
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla,
Ulil Abshor. 2002. Islam dan Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam.
Jakarta: Penerbit NFS dan Pusat Studi Islam Paramadina.
Mernissi,
Fatima.1994. Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Yogyakarta.
Penerbit LKIS.
0 komentar:
Posting Komentar