Senin, 07 Maret 2016

PRINSIP METODE ILMU



BAB I
PENDAHULUAN

I.          Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, ilmu sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok oleh manusia. Tidak ada satupun manusia yang mampu bertahan hidup tanpa ilmu. Secara alamiah manusia akan terus berupaya memenuhi kebutuhannya tentang ilmu, manusia memenuhi kebutuhan ini dengan berbagai macam cara. cara yang paling konvesional adalah dengan menempuh di jenjang pendidikan formal (sekolah). Namun sejatinya ilmu tidak hanya dapat dipelajari di bangku sekolahan. Pada kenyataannya, manusia akan mendapat lebih banyak ilmu melalui pengalaman di dalam kehidupannya.
               Ilmu pengetahuan tidak pernah mencapai pada suatu kebenaran yang mutlak. Hal ini dikarenakan ilmu terus berkembang dari masa ke masa. Perkembangan ilmu pengetahuan di Bumi ini juga dipengaruhi oleh cara manusia berfikir tentang sistematis keilmuannya. Dahulu, manusia mendapatkan ilmu dengan cara yang sangat sederhana yang hanya mengandalakan panca indranya. Namun saat ini ilmu sudah sangat maju, dalm mencari ilmu pengetahuan manusia menggunakan alat bantu yang sengaja mereka ciptakan untuk dapat memenuhi kebutahan mereka akan ilmu.
     Dalam makalah ini akan dijelaskan pola pikir manusia dan tahapan-tahapan dalam mendapatkan pengetahuan, dimulai dari cara yang paling sederhana hingga menggunakan metode-metode tertentu. Diharapkan dengan disusunnya makalah ini, pembaca dapat memahami bagaimana sistematika yang tepat dalam berfikir.

II.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan rasionalisme ?
2.      Apa yang dimaksud dengan empirisme ?
3.      Apa yang dimaksud dengan metode keilmuan?
4.      Bagaimana cara untuk menemukan ilmu pengetahuan ?


III.            Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1.   Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen kepada Mahasiswa semester II Prodi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi, mata kuliah Filsafat Ilmu.
2.   Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang Hak Asasi Manusia.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Rasionalisme
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar semakin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang semakin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempurnaan.

Tokoh-tokoh Rasionalisme:
1.      Rene Descartes (1596 -1650)
2.      Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.      B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.      G.W.Leibniz (1946-1716)
5.      Christian Wolff (1679 -1754)
6.      Blaise Pascal (1623 -1662 M)

Bagiamana rasionalis memandang pengalaman? Peneguhan kalangan rasionalis bahwa hanya akal yang menjadi basis dan sumber pengetahuan, bukanlah berarti bahwa kalangan ini menafikan pengalaman secara total-sepenuhnya. Artinya, rasionalisme masih tetap memandang pengalaman sebagai sebuah kualitas yang bernilai, meskipun kadar nilai itu tentunya tidak setinggi akal atau rasio. Bagi kalangan rasionalis, pengalaman dapat menjadi pelengkap bagi akal.
Dunia yang terlihat dengan nyata ini hanya dapat di kenal melalui penerapan dasar-dasar pertama pemikiran. Tanpa itu orang tidak melakukan penyelidikan ilmiah. Pandangan ini berkaitan denagan dasar epistimologi Leibniz, yakni kebenaran pasti atau kebenaran logis dan kebenaran fakta atau kebenaran lapangan.
Atas dasar pembedaan jenis kebenaran itu di bedakan menjadi dua pengetahuan.:
Pertama, pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran eternal ( abadi ), dalam hal ini, kebenaran logis. Pengetahuan ini di dasarkan pada prinsip identitas dan prinsip kontradiksi. Misalnya, A adalah A, dan selamanya A tidak pernah jadi selain non-A ( contoh kebenaran ini berlaku khusus eksistensi Tuhan ). Prinsip ini bukan hasil dari penemuan ilmiah, tetapi sesuatu yang sifatnya aksiomatis. Kebenaranya tidak memberikan pengetahuan tentang dunia fenomenal, tetapi tanpa dasar kedua prinsip ini, tidak mingkin manusia berpikir secara logis. Memahami kebenaran logis adalah hak prerogatif manusia.
Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada obserfasi atau pengamatan, hasilnya di sebut “ kebenaran kontingen” atau “kebenaran fakta”. Kebenaran fakta tidak di tentukan oleh proposisi yang self evident, tetapi kebenarannya di tentukan oleh hubungan antara proposisi yang satu denagn proposisi yang lain. Jika pengetahuan jenis pertama berkaitan dengan penalaran yang sifat analitik, maka pengetahuan jenis kedua ini bersifat sintetis dengan memakai prinsip “alasan yang mencukupi


B.     Empirisme
Kata ini berasal kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.24 Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan DavidHume
Salah satu metode atau aliran dalam memelajari filsafat adalah empirisme. Yaitu suatu aliran yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Para kaum empiris menganggap bahwa melalui pengalaman kebenaran yang diperoleh akan lebih valid, meskipun kebenaran secara mutlak tidak akan pernah tercapai.
Salah satu ciri dari kaum empiris adalah dengan berrkata, “tunjukkan hal itu kepada saya” . Dengan kata lain seorang penganut empiris harus benar – benar melihat atau mengalami kejadian yang diceritakan melalui inderanya sendiri. Misalkan ada seseorang yang mengatakan bahwa telah terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan A , maka seorang penganut empiris akan memercayai hal tersebut sebagai sebuah fakta jika kita menceritakan kejadian tersebut sampai pada kesimpulannya. Namun dia hanya akan menereima  hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa fakta tersebut dengan melihat sendiri pada kejadian tersebut.
Contoh kedua adalah apabila terdapat pernyataan bahwa madu itu manis. Lalu darimana seorang penganut empiris itu tau bahwa madu rasanya manis? Maka mereka akan menjawab karena saya telah merasakannya atau ilmuean lain telah membuktikannya dengan merasa langsung lewat indera pengecap. 
Dari contoh di atas dapat diperoleh dua aspek mengenai aliran empirisme. Pertama adalah perbedaan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Yang diketahui disebut sebagai objek sedangkan yang mengetahui disebut subyek. Yang kedua adalah kebenaran fakta diperoleh dari pengalaman manusia.
Aspek lain dari empirisme adalah prinsip keteraturan dan keserupaan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi yang teratur mengenai cara memandang sesuatu. Pada dasarnya alam ini teratur. Dengan menggambarkan sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu serta membandingkan dengan masa sekarang, ada kemungkinan untuk memprediksi kejadian di masa depan.
Keserupaan di sini berarti bahwa bila terdapat kejadian dengan gejala-gejala berdasarkan pengalaman yang mirip atau sama, berarti kita bisa mengambil kesimpulan umum. Seperti contoh adalah buah pepaya. Kita telah yakin bahwa buah pepaya itu rasanya enak, bervitamin serta tidak beracun. Sehingga jika kita menemukan benda-benda yang bentuk dan rasanya seperti pepaya sudah tidak ada keraguan mengenai rasa tersebut. Namun aliran empirisme memiliki beberapa kelemahan, diantanranya:
1.                  Indera Terbatas
Benda – benda yang berada di jarak yang jauh akan terlihat kecil. Padahal belum tentu benda tersebut benar-benar kecil. Sehingga dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa indera itu terbatas.
2.                  Indera Menipu
Pada orang yang terkena penyakit, semua makanan akan terasa pahit. Udara yang panas menjadi terasa dingin atau sebaliknya. 
3.                  Obyek yang Menipu
Contohnya adalah fatamorgana. Melihat sesuatu yang seakan-akan ada padahal tidak ada.
4.                  Berasal dari Indera dan Objek Sekaligus
Kita hanya bisa melihat sesuatu dari satu sisi saja. Contohnya adalah ketika indera (mata) tidak mampu melihat badak secara keseluruhan dan badak itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.

  1. Metode Keilmuan
Pada metode ini, merupakan gabungan dari metode rasionalisme dan empirisme. Jadi pada dasarnya, metode keilmuan menyatukan kedua metode untuk mendapatkan suatu hasil yang sempurna. Meskipun merupakan gabungan dari dua metode sebelumnya dan menuju kesempurnaan, namun tetaplah tidak ada yang sempurna di alam semesta ini kecuali sang pencipta, Allah SWT. ilmuan akan mengumpulakn fakta-fakta, melakukan pengamatan menggunakan seluruh panca indra yang dimilikinya. Kemudian apa yang didapat akan diproses untuk mendapatkan suatu hasil tertentu. Walau demikian, analisis terhadap metode keilmuan akan mengungkapakan, bahwa sebenarnya metode keilmuan adalah gabuangn mengenai metode rasionalisme dan empirisme.
“Secara sederhana metode keilmuan adalah suatu cara dalam memperoleh pengetahuan” (Jujun S. S. Ilmu dalam Perspektif  halaman 105). Dalam menjalakan metode keilmuan, seseorang harus mengikuti seluruh langkah-langkah yang ada. Langkah-langkah atau kerangka dasar prosedur ini dapat dibagi menjadi enam, yaitu :

1.      Perumusan masalah
2.      Pengamatan dan pengumpulan data
3.      Penyusunan atau klasifikasi data
4.      Perumusan hipotesis
5.      Deduksi dari hipotesis
6.      Tes dan pengujian kebenaran dari hipotesis
Pada sub-Bab ini akan dibahas mengenai ke-6 kerangka dasar tersebut.
1.      Perumusan Masalah
Dalam menjani hidup, manusia tentu tidak akan pernah terlepas dari yang namanya masalah. Sebagai mahluk pemikir, manusia akan berusaha untuk mencari penyelesainan yan gmereka hadapi. Mereka akan menyelesaikan masalah tersebut secara berakal, maka pemikiran akan mulai terbentuk. Tanpa adanya masalah, manusia tidaka akan pernah bisa berkembang dan berfikir. Jika tidak ada pertanyaan (masalah) tentu tidak akan terdapat penyelesaian (jawaban).
2.      Pengamatan dan Pengumpulan data.
Banyak orang yang menyamakan metode keilmuan dengan pengumpulan fakta, hal ini disebabkan karena banyaknya kegiatan keilmuan  yang mengarah pada pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan baik secara langsung ataupun dengan bantuan alat yang diciptakan oleh manusia, sejatinya merupakan kegitan empiris dan deduktif.
3.      Penyusunan dan Klasifikasi Data
Pada tahap ini menitik beratakn kepada penyusunan fakta-fakta ke dalam kelompok-kelompok, jenis-jenis, dan kelas-kelas. Manusia akan mengidentifikasi, menganalisa, membandingkan, dan membedakan fakta-fakta yang relevan tergantung pada adanya sistem klasifikasi, ini disebut taxonomi. Keilmuan modern terus berusah amnyempurnakan taxonomi mereka agar lebih akurat dalam pengengelompokkan dan berujung pada semakin validnya hasil yang mereka peroleh.
4.      Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antara banda-benda (Jujun S. S. Ilmu dalam Perspektif  halaman 107). Ketika menghadapai suatu masalah, manusia biasanya sudah memiliki gambaran akan penyelesaiannya. Hanya saja, gambaran tersebut belum tentu benar dan masih sebatas dugaan semata. Hipotesis merupakan sebuah dugaan yang beralasan atau merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya.  Hipotesis diperluakan untuk membuat suatu perkiraan mengenai apa yang akan dilakukan untuk menemukan suatu hasil.
Dalam konsep mengenai hipotesis, terdapat unsur empiris maupun unsur rasional. Pertama-tama harus terdapat data empiris yang berupa fakta yang dapat diamati, diukur. Selain itu juga harus ada konsep yang bersifat logis atau masuk akal.
5.      Deduksi dari Hipotesis
Hipotesis menyusun pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan atau deduksi mengenai hubungan antara benda-benda tertentu yang sedang diselidiki (Jujun S. S. Ilmu dalam Perspektif  halaman 108).  Deduksi dari hipotesis diperluakn sebagai acuan mengenai hal-hal apa saja yang akan dilakukan dalam eksperimen.
6.      Tes dan Pengujian Kebenaran dari Hipotesis
Pengujian kebenaran dalam ilm berati mengestes berbagai macam alternatif hipotesis dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya atau melalui percobaan. Keputusan terakhir terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung satu hipotesis, maka dipilihlah hipotesis lain dan proses diulang lagi. Hakim terakhir adalah data empiris. Kaum rasionalis mengemukakan bahwa suatu hipotesis bisa diterima jika hipotesis tersebut konsisten dengan hipotesis yang telah ada sebelum-sebelumnya yang telah teruji kebenarannya.
            Meskipun metode keilmuan talah menerapkan langkah-langkah yang begiu spesifik guna memperkecil kesalahan, namun bukan berati metode ini tanpa kelemahan. Terdapat beberapa kelehan dalam metode keilmuan, diantaranya adalah :
1.      Metode keilmuan membatasi begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui oleh manusia. Hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik disiplin ilmu tertentu.
2.      Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, yakni bagaimanan hubungan antar benda atau hal sebagai hubuangan antara sebab dan akibat, tetapi itdak cukup menjelaskan hakikat dari suatu benda.
3.      Meskipun sangat tepat, pengetahuan keilmuan bukanlah keharusan universal. Pengetahuan hanyalah pengetahuan yang mungkin dan secara tetap berubah setiap saat.

D.    Cara Menemukan Pengetahuan
Setiap orang yang berakal sehat pasti akan berusaha mengetehui sesuatu yang baru dengan nalurinya. Contohnya seorang anak yang dalam masa perkembangan, apabila diberi permainan maka akan selalu mengotak-atik permainan itu hingga anak tersebut menemukan sesuatu yang baru dengan cara bertahap. Cara anak tersebut menemukan pengetahuan adalah melalui usaha coba-ralat yang merupakan salah satu ciri pelaksanaan metode sains.
        Sebenarnya ada empat cara menemukan pengetahuan yaitu dengan metode kegigihan, metode kewibawaan, metode a priori, dan metode sains. (Peirce, 1877; Kerlinger, 1973).
        Metode Kegigihan banyak digunakan dalam kalangan masyarakat yang masih erat hubungannya dengan lingkungan alam tempat hidupnya. Contohnya adalah petani jawa, yang sejak dahulu kala secara turun temurun di ajarkan bahwa memanen padi harus dilakukan dengan menggunakan ani-ani1. Apabila suatu saat ada pihak yang menganjurkan memanen padi dengan mencabit saja, maka hal itu dianggap suatu perintah yang tidak benar dan perlu disanggah.
        Pengetahuan bahwa memanen padi dengan cara ani-ani bukan dengan cara disabit yang ditemukan oleh petani adalah melalui metode kegigihan. Petani tersebut dengan gigih mempertahankan kebenarannya karena cara itulah yang diajarkan orang tuanya secara turun temurun. Kebiasaan tersebut dapat ditelusuri bahwa telah diajarkan sebagai warisan dari generasi satu ke generasi lainnya. Apabial ada yang bermaksud untuk melanggarnya maka akan dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan akan memancing amarah Dewi Sri, dewi kesuburan yang menjamin hasil sawah baik.
        Bagi petani di luar jawa, memanen padi dengan cara mencabit adalah kebiasaan mereka. Kalau dijawa biasanya orang menanam  jenis-jenis padi yang gabahnya tidak mudah rontok sehingga kalau di tuai dengan ani-ani tidak banyak terjadi kesusutan. Di luar jawa mayoritas padi yang ditanam adalah padi yang gabahnya mudah rontok. Oleh karena itu petani diluar jawa tidak terbiasa menuai padi melainkan dengan cara mencabitnya pada pangkalnya. Yang gabahnya di lepaskan dari tangkainya dengan diinjak-injak. Itulah cara memanen padi yang mereka ketahui dan dengan gigih juga mereka akan mempertahankan kebenaran bahwa cara memanen padi yang paling baik adalah dengan cara mencabit.
        Seorang insinyur pertanian yang pengalaman belajar bertani diperoleh di lereng gunung salak yang tanahnya bersifat gembur, ketika melihat cara pengolahan tanah di Tapanuli selatan yang caranya dengan tajak bukan dengan cangkul atau pacul. Mungkin dia beranggapan bahwa petani Tapanuli selatan itu pemalas, enggan mengeluarkan keringat ketika bekerja dan hanya beringat sehabis makan. Oleh karena itu mungkin dia memerintahkan dinas pertanian setempat untuk menggantikan tajak dengan cangkul. Apabila petugas dinas pertanian menuruti perintah insinyur tersebut maka diperoleh suatu teladan tentang timbulnya pengetahuan penyuluhan pertanian lapangan itu melalui metode kewibawaan. kewibawaan insinyur tersebut dianggap pengetahuan yang benar, walaupun untuk keadaan khusus di Tapanuli selatan tadi pencangkulan justru merusak kesuburan tanah karena lapisan bunga tanah yang tipis itu akan hancur dipindahkan kelapisan yang lebih dalam.
        Metode kewibawaan perlu diterapkan apalagi di kalangan masyarakat yang banyak pendapat tidak beralasan. Kearifan yang muncul dari wibawa seseorang dapat diharapkan menjadi petunjuk untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi jika suatu saat kearifan yang diharapkan itu tidak diperoleh maka metode ini akan mengundag timbulnya malapetaka.
        Cara menemukan pengetahuan yang ketiga adalah dengan metode a priori yang disebut juga metode intuisi. Suatu hal dianggap benar karena tampaknya “jelas benar”. Dari pengetahuan a priori ini kemudian di kembalikan lebih lanjut pengetahuan lainnya. Yang menjadi pertanyaan pada cara ini adalah apa yang dimaksudkan dengan “jelas benar”, karena setiap orang mempunyai citra rasa yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksudkan “jelas benar” itu ada batasnya.
        Cara menemukan pengetahuan baru yang keempat adalah dengan metode sains. Metode ini secara khas sangat menonjol dari ketiga metode di atas, karena dalam metode sains menemukan dan mengembangkan pengetahuan selalu menilai dan memperbaiki pengetahuan yang diperoleh secara terus menerus melalui berbagai macam batas uji. Misalnya dua orang ilmuan yang mengembangkan pengetahuan dengan sendiri sendiri dengan metode sains ini akan mendapatkan pengetahuan yang sama. Sehingga metode sains ini dikenal sebagai suatu cara menemukan pengetahuan yang obyektif. Karena pengetahuan yang di temukan itu harus obyektif maka pada dasarnya semua persyaratan yang di minta harus terpenuhi. Apabila sudah terpenuhi siapapun yang melakukan akan mendapat akibat yang sama itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa inti sains adalah perumuman.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.      Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan
2.      Paham Empirisme adalah suatu aliran yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Para kaum empiris menganggap bahwa melalui pengalaman kebenaran yang diperoleh akan lebih valid, meskipun kebenaran secara mutlak tidak akan pernah tercapai
3.      Metode keilmuan adalah adalah gabungan dari metode rasionalisme dan empirisme. Jadi pada dasarnya, metode keilmuan menyatukan kedua metode untuk mendapatkan suatu hasil yang sempurna.
4.      Ada beberapa cara untuk menemukan pengetahuan, diantaranya dengan metode kegigihan, metode kewibawaan, metode apriori atau intuisi, dan metode sains.

B.  Saran
Setelah membaca dan membahas makalah ini, hendaklah kita berfikir secara sistematis. Baik itu secara rasio maupun empiris. Karena untuk menghasilkan konsep pemikiran yang baik diperlukan pola pikir yang terstruktur.
  

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2010.Filsafat Ilmu.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Mukalam.2014.Kompilasi Referensi Pendukung Proses Belajar Mengajar (Bagian I).Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga 

Nasution, Andi Hakim.1988.Pengantar ke Filsafat Sains.Jakarta:Litera AntarNusa

Suriasumantri, Jujus S.1997.Ilmu dalam Perspektif :sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu.Jakarta :Yayasan Obor Indonesia

Van Peursen, C.A.1980.Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu.Jakarta:PT Gramedia



0 komentar:

Posting Komentar