Minggu, 13 Maret 2016

Ihsan Sebagai Sumber Inspirasi Pembentukan Akhlak



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kecerdasan. Dalam dunia psikologi, kecerdasan di bagi menjadi berbagai macam seperti kecerdasan fisik, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Dimana dari masing – masing pembagian tersebut mempunyai kelebihan dan kurang yang dari ketiganya memiliki hubungan satu sama lain.
Pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang : integritas, kejujuran, komitmen, visi, keatifitas, ketahanan mental, kebijkasanaaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Pada pendidikan agama yang semestinya dapat diandalkan dan diharapkan bisa memberi solusi bagi permasalahan hidup, ternyata lebih diartikan atau dipahami sebagai ajaran “fiqih”, tidak dipahami dan dimaknai secara mendalam. Lebih kepada pendekatan ritual dan simbol – simbol serta pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Idealnya, ketiga kecerdasan dasar kita tersebut bekerjasama dan saling mendukung. Otak kita dirancang agar mampu melakukan hal ini. Meskipun demikian, Kecerdasaan Intelektual, Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasan Spiritual/Rohani memiliki wilayah kekuatan tersendiri dan bisa berfungsi secara terpisah. Oleh kerena itu, ketiga tingkat kecerdasan yang kita miliki belum tentu sama – sama tinggi atau sama – sama rendah. Karena seseorang mungkin hanya tinggi pada salah satu kecerdasan saja.
Oleh sebab itu, didalam makalah ini akan menjelaskan tentang masing – masing dari ketiga kecerdasan, dan hubungan antara ketiganya agar terbentuk suatu kesinambungan yang memberikan penjelasan Ihsan Sebagai Pembentukan Akhlak Meta Kecerdasan.
B.     Rumusan Masalah
-          Bagaimana konsep Ihsan Sebagai Sumber Inspirasi?
-          Bagaimana Pembentukan Akhlak Meta Kecerdasan?

C.     Tujuan
-     Mengetahui Konsep Ihsan Sebagai Sumber Inspirasi
-     Mengetahui Cara membentuk Akhlak  dengan Meta Kecerdasan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Ihsan

Ihsan berasal dari kata “husn” yang merujuk pada kualitas sesuatu yang baik dan indah. Dalam kamus bahasa, dinyatakan bahwa kata “husn” memiliki pengertian umum yaitu tentang setiap kualitas yang bermakna positif seperti kebajikan, kejujuran, indah, ramah, dan lain – lain. Dengan kata lain, ihsan adalah berbuat sesuatu dengan sangat indah.
            Konsep ihsan menekankan tentang bagaimana menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seseorang menjadi selaras dengan perbuatan dan pemahaman seseorang.
“Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” Rasulullah menjawab, “Beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan – akan engkau melihat-Nya dan seandainya engkau tidak dapat melihat-Nya, engkau yakin bahwa Dia melihatmu”. Al-Hadits, H.R. Bukhari Muslim.
            Dalam konteks ini, seseorang harus menyadari bahwa tidak ada sesuatu yanga dapat bersembunyi dari pandangan Allah. Tetapi, tujuan ihsan tidak sekedar melakukan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Melainkan bertujuan untuk melakukan semua perbuatan semata – mata demi Allah. sehingga setiap perbuatan dan pikiran harus lah menuju kepada yang Maha Nyata (Allah).
            Salah satu motivasi untuk mencapai tujuan tersebut, adalah dengan memahami bahwa Allah selalu hadir dalam setiap langkah hidup kita. Hal ini tidak hanya berarti bahwa Allah senantiasa melihat apa yang kita kerjakan. Namun, juga melihat apa yang sedang kita pikirkan, termasuk pikiran yang paling rahasia sekali pun.
Dalam hal ini mengenai hubungan  ihsan dalam  membentuk inspirasi akhlak tidak terlepas dari kecedasan intelektual, kecerdasan Emosi maupun  kecerdasan spritual, karena ketiga-tiganya tersebut saling berkaitan satu sama lain sehinnga dapat  membentuk manusia yang ber Orientasi Spritualisme Tauhid. Oleh sebab itu, apabila manusia sudah bisa mengerti dan dapat menerapkan konsep ihsan dalam kehidupan  maka akan menjadi benteng dalam menghadirkan niat yang selaras dengan perbuatannya sehingga dapat menjadikan manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia.

B.     Pembentukan Akhlak Meta Kecerdasan

Istilah kecerdasan pertama kali dilontarkan oleh Psikolog Peter Salovery dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas – kualitas emosional. Kecerdasan emosi ini dapat meningkat dan terus ditingkatkan selama kita hidup berbeda dengan kecerdasan intelektual. Banyak contoh disekitar kita yang membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak dan memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan bahkan seringkali yang berpendidikan formal yang lebih rendah ternyata malah lebih berhasil, berdasarkan hal tersebut yang harus nya dikembangkan  adalah kecerdasan hati, optimisme, inisiatif dan kemampuan beradaptasi dengan orang lain sehingga berdampak baik terhadap diri kita dan menjadi dasar penilaian baru bagi diri kita sendiri. (Agustian,2003).
            Apakah Kecerdasan dapat mempengaruhi pembangunan karakter manusia?. Dalam buku yang ditulis oleh Ary Ginanjar “ESQ Power”, formula pembangunan karakter yaitu mencakup semua aspek kehidupan manusia seperti dimensi fisik, dimensi emosi, dan dimensi spiritual yang tetap berlandaskan pada prinsip hukum keteraturan yang tertulis pada alam semesta. Model tersebut dinamakan ESQ model. Dimana:
-         Dimensi Fisik dikendalikan oleh 5 esensi Rukun Islam – dimana IQ berada, yang merupakan suatu mekanisme agar seluruh tindakan selalu pada garis orbit Sang Pencipta.
-          Dimensi Emosi yang dikendalikan oleh 6 Rukun Iman – dimana EQ berada,  yang merupakan suatu mekanisme pembangun karakter.
-          Dimensi Spiritual yang dipengaruhi oleh nilai – nilai ihsan. 

Pada makalah sebelum – sebelum nya, sudah dibahas mengenai 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman. Saat ini kita akan membahas tentang EQ,IQ serta SQ secara umum.

I.       Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient/IQ)
Intelektual/Inteligensi/Taraf Kecerdasan mengandung arti yang amat luas, namun banyak orang sering menginterpretasikannya sebagai IQ (Intelligency Quotient). Westen (1996) seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard menjelaskan tentang intelegensi dan IQ secara panjang lebar, dimana inteligensi berbentuk multifaset artinya inteligensi diekspresikan dalam berbagai bentuk.
Pada umumnya intelegensi diukur di sekolah serta lembaga pendidikan tinggi dan pengukuran yang dilakukan cenderung bersifat skolastik. Skolastik adalah kemampuan yang diajarkan disekolah. Adapun satuan angka yang diperoleh atas hasil pengukuran tersebut tersaji dalam satuan IQ (Intelligency Quotient). Artinya IQ adalah satuan ukuran saja seperti layaknya meter adalah satuan ukuran panjang, gram adalah satuan ukuran berat dan quotient adalah satuan skor yang menunjukkan taraf kemampuan seseorang. Karena kemampuan yang diukur adalah kemampuan yang diajarkan sekolah, maka cenderung memperoleh skor IQ yang rendah. Padahal, mungkin saja mereka yang tidak sekolah memiliki taraf kecerdasan lebih tinggi daripada yang disekolah. (satiadarma dan fidelis,2003)
Lapisan luar otak manusia adalah neo-cortex dan lapisan ini hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lain. Otak neo-cortex manusia mampu berhitung, belajar aljabar, mengoperasikan computer, mempelajari bahasa inggris, memahami rumus – rumus fisika , dan melakukan perhitungan yang rumit sekalipun. Dengan mempergunakan otak neo-cortex, manusia mampu pula menciptkan pesawat terbang hingga bom nuklir. Melalui penggunaan otak neo-cortex ini maka lahir lah IQ, kemampuan intelektual. Hal ini berkaitan dengan kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak dan penguasaan matematika. IQ mampu bekerja mengukur kecepatan, mengukur hal – hal baru, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif serta berperan aktif dalam menghitung angka dan lain – lain.
Cukup banyak orang yang memiliki IQ diatas rata – rata, tetapi banyak diantara mereka tidak berhasil dalam kehidupam pribadi maupun dalam pekerjaan. Tetapi terkadang mereka yang memiliki IQ biasa - biasa  saja bisa lebih luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan, bertanggungjawab dan ramah tamah. Namun yang ber-IQ tinggi cenderung kurang pandai bergaul, tidak berperasaan dan egois. Menurut beberapa penelitian IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20 %,bahkan hanya 6% menurut Steven J. Stein Ph.D. dan Howard E. Book, M.D. Artinya, IQ memang penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia bisa memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan efektivitas. (ginanjar,2003)
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler,inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ (Intelligence Quotient)  adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Pada tahun 1904,komisi pendidikan prancis menugaskan Alfred Binet untuk menemukan cara tertentu untuk menyeleksi anak-anak terbelakang dari anak-anak normal. Benet bersama temannya Theodero Simon beranggapan bahwa kemampuan memecahkan persoalan berkembang selaras dengan peningkatan usia seseorang. Karenanya,mereka menyusun rangkain tugas tertentu dengan derajat kesulitan yang sangat tinggi. Bila seorang anak usia 5 tahun dapat menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya ditujukan untuk anak usia 7 tahun,maka usia mental anak tersebut lebih tinggi dari kalendernya. Artinya,usianya memang 5 tahun tetapi kemampuannya setara dengan anak berusia 7 tahun,demikian sebaliknya. Binet dan Simon kemudian memperkenalkan istilah usia mental (mental age=MA) yang merefleksikan skor atau nikai yang diperoleh anak tersebut karena ia mampu menyelesaikan persoalan dengan derajat kesulitan tertentu.
Skala pengukuran yang dikembangkan binet kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan direvisi oleh Lewis Terman dari Universitas Stanford di California pada tahun 1916. Terman berupaya mengkuantifikasikan kemampuan seseorang dan dari upaya ini lahirlah istilah IQ dan menghasilkan sebuah formula :

IQ = (MA/CA) X 100
MA = chronological age
CA = mental age

II.    Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient/EQ)
Menurut survey di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi bahwa keterampilan teknik (bekerja) tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar terhadap pekerjaan yang bersangkutan diantaranya adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan dengan baik. kecerdasan emosi ini menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan memiliki kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan emosi tersebut menunjukkan berapa banyak potensi yang mampu kita representasikan didalam tempat kerja (Daniel Goleman, 2003).
Terkait dengan berpikir, manusia tidak hanya menggunakan fungsi otak semata atau bahkan hanya urusan inteligensi saja melainkan juga dengan emosi dan bahasa tubuh serta dengan semangat dan kesadaran akan makna dan nilai dari apa yang dipikirkan. ketika suatu permasalahan atau rangsangan muncul maka secara otomatis radar emosi atau fungsi otak limbik, otak emosional atau  yang disebut dengan amygdala akan merespon, tetapi respon tersebut seringkali tidak terkendali, respon bisa bersifat positif maupun negatif, tujuan dari pengendalian emosi ini agar posisi emosi selalu berada pada posisi nol atau bisa dikatakan berada dalam posisi stabil.
Emosi sangat erat sekali hubungannya dengan spiritual, spiritual akan bekerja ketika emosi dalam keadaan stabil, pada saat itulah God Spot akan bekerja dengan baik dimana didalamnya terdapat energi yang berupa percikan  sifat-sifat Allah. Dalam God Spot ini bermuara suara hati ilahiah sehingga sebagai manusia ketika rangsangan terjadi, kita harus bekerja untuk membantu radar emosi agar tetap stabil suhunya.
Dalam mengatasi rangsangan agar senantiasa pada posisi normal, maka perlu mengidentifikasi jenis-jenis rangsangan sekaligus obat penawarnya. Dibawah ini adalah 6 tablet pereda emosi, antara lain:
1.      Marah, ucapkan Istighfar, Astaghfirullah
2.      Kehilangan dan sedih, ucapkan Innalillahi wa inna ilaihi raa’jiuun
3.      Bahagia, ucapkan Alhamdulillah
4.      Takut, ucapkan SubhanaAllah
5.      Panik, ucapkan laa hawlaa walaa quwwata illa billah
Ucapan-ucapan tersebut berfungsi sebagai pengendali diri agar emosi tetap terkendali atau stabil. Dan diharapkan dengan bacaan tersebut akan membawa manusia kembali mengingat kebesaran Allah sehingga emosi akan menjadi normal kembali.

III.   Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient/SQ)
Spiritual artinya spirit atau murni. Arti tersebut akan diaplikasikan untuk memahani bagaimana menyaring jiwa kita agar jernih seperti ruh yang suci. Spiritual ini berfungsi sebagai drive (dorongan) dan juga sebagai value (nilai) yaitu berupa bisikan suara hati, atau yang lebih umumnya dinamakan qalbu.
Spiritual yang terletak pada Got Spot berfungsi memberikan bisikan-bisikan suara hati yang senantiasa mendorong kearah mulia. Lebih jauh lagi, apabila seorang mengikuti dorongan suara hati tersebut, maka pada saat itulah manusia mengalami apa yang disebut Ultimate Meaning atau “ makna puncak” (nilai spiritual). Bahkan banyak yang mengalami apa yang disebut spiritual experience atau biasa disebut “Lailatul Qodar” (malam seribu bulan) artinya apabila seseorang telah merasakan spiritual experience secara tidak langsung  dia akan merasakan seolah – olah menerima sebuah  hidayah yang begitu besar.
Spiritualisme mampu menghasilkan lima hal yaitu :
1.      Integritas berupa kejujuran.
2.      Energi berupa semangat.
3.      Inspirasi berupa ide dan inisiatif.
4.      Wisdom berupa kebijaksanaan.
5.      Keberanian dalam mengambil keputusan.
Semua sepakat dan setuju bahwa spiritualisme terbukti mampu membawa seseorang menuju tangga kesuksesan dan berperan besar menciptakan mereka menjadi seorang Powerful Leader (pemimpin yang kuat).
Potensi energi spiritual yang dimiliki oleh setiap manusia merupakan dorongan untuk mencari kebenaran, keadilan, kedamaian, dan kasih sayang. Energi spiritual ini diciptakan oleh Allah dan ditiupkan kedalam ruh manusia. Energi ini sifatnya kekal dan sangat kuat. Meski manusia mencoba manahan, niscaya ia tidak akan pernah berhasil. Contohnya, suatu golongan yang mencoba melawan energi keadilan dan kebenaran, akan berakhir pada kehancuran yang memilukan. Sebaliknya, mereka yang mengetahui bagaimana cara memanfaatkan energi tersebut, maka ia akan melakukan surfing (berselancar) diatas kekuatan gelombang spiritual yang luar biasa.
Sistem pemprosesan energi spiritual, langkah nya yaitu:
1.      Mengenal suara hati yang merupakan tiupan ruh ilahi.
2.      Bebaskan cover hitam (kegelapan) yang menutupi God spot.
3.      Tanamkan nilai – nilai spiritual dan prinsip mental Tauhid.
Prinsip Tauhid akan mampu menciptakan kestabilan emosi yang mendekati sempurna, sehingga mampu mengeluarkan potensi suara hati yang berada dalam God Spot (Titik Tuhan). 
Setelah mengetahui IQ, EQ, serta SQ secara umum, kita berlanjut pada hubungan antara ketiganya[ Dalam buku yang ditulis oleh Ary Ginanjar “ESQ Power”,
terdapat bagan seperti ini : 



Pada bagan tersebut, antara EQ (Kecerdasan Emosi), SQ (Kecerdasan Spiritual), dan IQ (Kecerdasan Intelektual) memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Ketika masalah dan tantangan datang, radar hati akan menangkap sinyal tersebut. Jika radar hati kita berorientasi pada Materialisme (bagian kiri), emosi yang dihasilkan adalah emosi yang tidak terkendali dan akan menimbulkan sikap seperti marah, sedih, kesal, takut, dan sebagainya. Akibat dari emosi yang tidak terkendali ini maka God Spot (didalamnya terdapat suara hati yang merupakan tiupan ruh illlahi) menjadi terbelenggu sehingga suara hati tidak memiliki peluang untuk muncul. Bisikan suara hati yang bersifat mulia pun tidak dapat terdengar dan God Spot menjadi tidak berfungsi, dan ini akan mempengaruhi kecerdasan lainnya. Karena suara hati telah tertutup, maka yang berperan penting saat ini hanyalah emosi semata. Emosi ini kemudian juga mempengaruhi kecerdasan intelektual. Kecerdasaan intelektual ini akan melakukan perhitungan, tetapi berdasarkan dorongan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, iri hati, dan kedengkian. Sehingga IQ – EQ – SQ tidak bersinergi.
Sedangkan dalam kasus yang berbeda. Ketika masalah dan tantangan datang, radar hati menangkap getaran sinyal tersebut dan berorientasi pada spiritualisme tauhid, kesadaran tauhid akan mengendalikan emosi, hasilnya adalah emosi yang terkendali seperti rasa tenang, damai, dan sebagainya. Jika emosi terkendali dengan baik, maka God Spot/Pintu Hati akan terbuka dan berfungsi sebagaimana mestinya. Maka terdengar suara hati yang mengajak kepada sifat keadilan, kasih sayang, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, kreativitas, komitmen, kebersamaan, perdamaian, dan lain sebagainya. Dari suara hati yang mulia itulah potensi kecerdasan intelektual bekerja secara optimal. Sehingga lahir lah sebuah Meta Kecerdasan yaitu integrasi antara IQ – EQ – SQ.
            “Apabila umat manusia melakukan pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta mereka dengan bermacam – macam kebaikan, maka mendekatlah engakau dengan akal mu, niscaya engkau merasakan nikmat yang lebih banyak, yaitu dekat dengan manusia di dunia dan dekat kepada Allah di akhirat”. Al-hadits.
            Berdasarkan kutipan al-hadits tersebut, jika antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual bersinergi dan menjadi apa yang disebut Meta Kecerdasan. Maka segala sesuatu pun akan menjadi lebih terasa ringan dan nikmatnya pun terasa lebih banyak. Tentu saja hal ini akan berkebalikan jika ketiga kecerdasan tersebut tidak terintegrasi dengan baik, maka hal – hal yang merugikan sudah menunggu di depan mata, baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Berdasarkan penjelasan diawal, Dimensi Fisik (IQ) merujuk pada Aplikasi, Dimensi Emosi (EQ) merujuk pada Mentalitas, Dimensi Spiritual (SQ) merujuk pada Nilai – Nilai Ihsan. Dan apabila ketiga kecerdasan tersebut dapat dimiliki dan diamalkan oleh setiap manusia, maka akan terbentuk akhlakul karimah.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

-          Konsep ihsan menekankan tentang bagaimana menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seseorang menjadi selaras dengan perbuatan dan pemahaman seseorang.
-          Cara membentuk Akhlakul karimah adalah dengan menggabungkan antara Kecerdasan Intelektual,  Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual sehingga terbentuk  Meta Kecerdasan.




DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power. Jakarta : Arga.
Agustian, Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun  Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : Arga.
Satiadarma P.Monty dan Fidelis E. Waruwu. 2003. Mendidik Kecerdasan. Jakarta : Ustaka Populer Obor.
Zohar Danah dan Ian Marshall. 2007. Kecerdasan Spiritual (SQ). Bandung : Mizan Pustaka

0 komentar:

Posting Komentar