BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kecerdasan.
Dalam dunia psikologi, kecerdasan di bagi menjadi berbagai macam seperti
kecerdasan fisik, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Dimana dari
masing – masing pembagian tersebut mempunyai kelebihan dan kurang yang dari
ketiganya memiliki hubungan satu sama lain.
Pendidikan di Indonesia selama ini,
terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja.
Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali
ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang :
integritas, kejujuran, komitmen, visi, keatifitas, ketahanan mental,
kebijkasanaaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi.
Pada pendidikan agama yang semestinya dapat diandalkan dan diharapkan bisa
memberi solusi bagi permasalahan hidup, ternyata lebih diartikan atau dipahami
sebagai ajaran “fiqih”, tidak dipahami dan dimaknai secara mendalam. Lebih kepada
pendekatan ritual dan simbol – simbol serta pemisahan antara kehidupan dunia
dan akhirat.
Idealnya, ketiga kecerdasan dasar kita
tersebut bekerjasama dan saling mendukung. Otak kita dirancang agar mampu melakukan
hal ini. Meskipun demikian, Kecerdasaan Intelektual, Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasan
Spiritual/Rohani memiliki wilayah kekuatan tersendiri dan bisa berfungsi secara
terpisah. Oleh kerena itu, ketiga tingkat kecerdasan yang kita miliki belum
tentu sama – sama tinggi atau sama – sama rendah. Karena seseorang mungkin
hanya tinggi pada salah satu kecerdasan saja.
Oleh sebab itu, didalam makalah ini akan
menjelaskan tentang masing – masing dari ketiga kecerdasan, dan hubungan antara
ketiganya agar terbentuk suatu kesinambungan yang memberikan penjelasan Ihsan
Sebagai Pembentukan Akhlak Meta Kecerdasan.
B.
Rumusan
Masalah
-
Bagaimana
konsep Ihsan Sebagai Sumber Inspirasi?
-
Bagaimana
Pembentukan Akhlak Meta Kecerdasan?
C.
Tujuan
- Mengetahui Konsep Ihsan Sebagai Sumber
Inspirasi
- Mengetahui Cara membentuk Akhlak dengan Meta Kecerdasan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Ihsan
Ihsan
berasal dari kata “husn” yang merujuk pada kualitas sesuatu yang baik dan
indah. Dalam kamus bahasa, dinyatakan bahwa kata “husn” memiliki pengertian
umum yaitu tentang setiap kualitas yang bermakna positif seperti kebajikan,
kejujuran, indah, ramah, dan lain – lain. Dengan kata lain, ihsan adalah
berbuat sesuatu dengan sangat indah.
Konsep ihsan menekankan tentang bagaimana menghadirkan
motivasi dan kualitas psikologis seseorang menjadi selaras dengan perbuatan dan
pemahaman seseorang.
“Apakah
yang dimaksud dengan ihsan?” Rasulullah menjawab, “Beribadah kepada Allah Azza
wa Jalla seakan – akan engkau melihat-Nya dan seandainya engkau tidak dapat
melihat-Nya, engkau yakin bahwa Dia melihatmu”. Al-Hadits, H.R. Bukhari Muslim.
Dalam konteks ini, seseorang harus menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yanga dapat bersembunyi dari pandangan Allah. Tetapi, tujuan ihsan
tidak sekedar melakukan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Melainkan bertujuan
untuk melakukan semua perbuatan semata – mata demi Allah. sehingga setiap
perbuatan dan pikiran harus lah menuju kepada yang Maha Nyata (Allah).
Salah satu motivasi untuk mencapai tujuan tersebut,
adalah dengan memahami bahwa Allah selalu hadir dalam setiap langkah hidup
kita. Hal ini tidak hanya berarti bahwa Allah senantiasa melihat apa yang kita
kerjakan. Namun, juga melihat apa yang sedang kita pikirkan, termasuk pikiran
yang paling rahasia sekali pun.
Dalam
hal ini mengenai hubungan ihsan
dalam membentuk inspirasi akhlak tidak
terlepas dari kecedasan intelektual, kecerdasan Emosi maupun kecerdasan spritual, karena ketiga-tiganya
tersebut saling berkaitan satu sama lain sehinnga dapat membentuk manusia yang ber Orientasi
Spritualisme Tauhid. Oleh sebab itu, apabila manusia sudah bisa mengerti dan
dapat menerapkan konsep ihsan dalam kehidupan
maka akan menjadi benteng dalam menghadirkan niat yang selaras dengan
perbuatannya sehingga dapat menjadikan manusia yang berkarakter dan berakhlak
mulia.
B.
Pembentukan
Akhlak Meta Kecerdasan
Istilah
kecerdasan pertama kali dilontarkan oleh Psikolog Peter Salovery dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas – kualitas emosional. Kecerdasan emosi ini dapat meningkat dan terus
ditingkatkan selama kita hidup berbeda dengan kecerdasan intelektual. Banyak
contoh disekitar kita yang membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan
otak dan memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan
bahkan seringkali yang berpendidikan formal yang lebih rendah ternyata malah
lebih berhasil, berdasarkan hal tersebut yang harus nya dikembangkan adalah kecerdasan hati, optimisme, inisiatif
dan kemampuan beradaptasi dengan orang lain sehingga berdampak baik terhadap
diri kita dan menjadi dasar penilaian baru bagi diri kita sendiri.
(Agustian,2003).
Apakah Kecerdasan dapat mempengaruhi
pembangunan karakter manusia?. Dalam buku yang ditulis oleh Ary Ginanjar “ESQ Power”, formula pembangunan karakter
yaitu mencakup semua aspek kehidupan manusia seperti dimensi fisik, dimensi
emosi, dan dimensi spiritual yang tetap berlandaskan pada prinsip hukum
keteraturan yang tertulis pada alam semesta. Model tersebut dinamakan ESQ
model. Dimana:
- Dimensi Fisik dikendalikan oleh 5 esensi
Rukun Islam – dimana IQ berada, yang merupakan suatu mekanisme agar seluruh
tindakan selalu pada garis orbit Sang Pencipta.
-
Dimensi Emosi yang dikendalikan oleh 6
Rukun Iman – dimana EQ berada, yang
merupakan suatu mekanisme pembangun karakter.
-
Dimensi Spiritual yang dipengaruhi oleh
nilai – nilai ihsan.
Pada
makalah sebelum – sebelum nya, sudah dibahas mengenai 5 Rukun Islam dan 6 Rukun
Iman. Saat ini kita akan membahas tentang EQ,IQ serta SQ secara umum.
I. Kecerdasan
Intelektual (Intelligence Quotient/IQ)
Intelektual/Inteligensi/Taraf
Kecerdasan mengandung arti yang amat luas, namun banyak orang sering
menginterpretasikannya sebagai IQ (Intelligency
Quotient). Westen (1996) seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard
menjelaskan tentang intelegensi dan IQ secara panjang lebar, dimana inteligensi
berbentuk multifaset artinya inteligensi diekspresikan dalam berbagai bentuk.
Pada
umumnya intelegensi diukur di sekolah serta lembaga pendidikan tinggi dan
pengukuran yang dilakukan cenderung bersifat skolastik. Skolastik adalah
kemampuan yang diajarkan disekolah. Adapun satuan angka yang diperoleh atas
hasil pengukuran tersebut tersaji dalam satuan IQ (Intelligency Quotient). Artinya IQ adalah satuan ukuran saja
seperti layaknya meter adalah satuan ukuran panjang, gram adalah satuan ukuran
berat dan quotient adalah satuan skor
yang menunjukkan taraf kemampuan seseorang. Karena kemampuan yang diukur adalah
kemampuan yang diajarkan sekolah, maka cenderung memperoleh skor IQ yang rendah.
Padahal, mungkin saja mereka yang tidak sekolah memiliki taraf kecerdasan lebih
tinggi daripada yang disekolah. (satiadarma dan fidelis,2003)
Lapisan
luar otak manusia adalah neo-cortex
dan lapisan ini hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Otak neo-cortex manusia mampu berhitung,
belajar aljabar, mengoperasikan computer, mempelajari bahasa inggris, memahami
rumus – rumus fisika , dan melakukan perhitungan yang rumit sekalipun. Dengan
mempergunakan otak neo-cortex, manusia
mampu pula menciptkan pesawat terbang hingga bom nuklir. Melalui penggunaan
otak neo-cortex ini maka lahir lah
IQ, kemampuan intelektual. Hal ini berkaitan dengan kesadaran akan ruang, kesadaran
akan sesuatu yang tampak dan penguasaan matematika. IQ mampu bekerja mengukur
kecepatan, mengukur hal – hal baru, menyimpan dan mengingat kembali informasi
objektif serta berperan aktif dalam menghitung angka dan lain – lain.
Cukup
banyak orang yang memiliki IQ diatas rata – rata, tetapi banyak diantara mereka
tidak berhasil dalam kehidupam pribadi maupun dalam pekerjaan. Tetapi terkadang
mereka yang memiliki IQ biasa - biasa
saja bisa lebih luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan, bertanggungjawab
dan ramah tamah. Namun yang ber-IQ tinggi cenderung kurang pandai bergaul, tidak
berperasaan dan egois. Menurut beberapa penelitian IQ hanya berperan dalam
kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20 %,bahkan hanya 6% menurut Steven
J. Stein Ph.D. dan Howard E. Book, M.D. Artinya, IQ memang penting kehadirannya
dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia bisa memanfaatkan teknologi demi
efisiensi dan efektivitas. (ginanjar,2003)
Orang sering kali menyamakan arti
inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang
sangat mendasar. Menurut David Wechsler,inteligensi adalah kemampuan untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ
(Intelligence Quotient) adalah skor yang
diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan
sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Pada tahun 1904,komisi pendidikan prancis menugaskan
Alfred Binet untuk menemukan cara tertentu untuk menyeleksi anak-anak
terbelakang dari anak-anak normal. Benet bersama temannya Theodero Simon
beranggapan bahwa kemampuan memecahkan persoalan berkembang selaras dengan
peningkatan usia seseorang. Karenanya,mereka menyusun rangkain tugas tertentu
dengan derajat kesulitan yang sangat tinggi. Bila seorang anak usia 5 tahun
dapat menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya ditujukan untuk anak usia 7
tahun,maka usia mental anak tersebut lebih tinggi dari kalendernya.
Artinya,usianya memang 5 tahun tetapi kemampuannya setara dengan anak berusia 7
tahun,demikian sebaliknya. Binet dan Simon kemudian memperkenalkan istilah usia
mental (mental age=MA) yang merefleksikan skor atau nikai yang diperoleh anak
tersebut karena ia mampu menyelesaikan persoalan dengan derajat kesulitan
tertentu.
Skala pengukuran yang dikembangkan binet kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan direvisi oleh Lewis Terman dari
Universitas Stanford di California pada tahun 1916. Terman berupaya
mengkuantifikasikan kemampuan seseorang dan dari upaya ini lahirlah istilah IQ
dan menghasilkan sebuah formula :
IQ = (MA/CA) X 100
MA = chronological age
CA = mental age
II. Kecerdasan
Emosi (Emotional Quotient/EQ)
Menurut
survey di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi bahwa keterampilan teknik (bekerja)
tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar terhadap
pekerjaan yang bersangkutan diantaranya adalah kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi lisan dengan baik. kecerdasan emosi ini menentukan potensi
seseorang untuk mempelajari keterampilan praktis yang didasarkan pada lima
unsur yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan memiliki
kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan emosi tersebut
menunjukkan berapa banyak potensi yang mampu kita representasikan didalam
tempat kerja (Daniel Goleman, 2003).
Terkait
dengan berpikir, manusia tidak hanya menggunakan fungsi otak semata atau bahkan
hanya urusan inteligensi saja melainkan juga dengan emosi dan bahasa tubuh
serta dengan semangat dan kesadaran akan makna dan nilai dari apa yang
dipikirkan. ketika suatu permasalahan atau rangsangan muncul maka secara
otomatis radar emosi atau fungsi otak limbik, otak emosional atau yang disebut dengan amygdala akan merespon,
tetapi respon tersebut seringkali tidak terkendali, respon bisa bersifat
positif maupun negatif, tujuan dari pengendalian emosi ini agar posisi emosi
selalu berada pada posisi nol atau bisa dikatakan berada dalam posisi stabil.
Emosi
sangat erat sekali hubungannya dengan spiritual, spiritual akan bekerja ketika
emosi dalam keadaan stabil, pada saat itulah God Spot akan bekerja dengan baik
dimana didalamnya terdapat energi yang berupa percikan sifat-sifat Allah. Dalam God Spot ini bermuara
suara hati ilahiah sehingga sebagai manusia ketika rangsangan terjadi, kita
harus bekerja untuk membantu radar emosi agar tetap stabil suhunya.
Dalam
mengatasi rangsangan agar senantiasa pada posisi normal, maka perlu
mengidentifikasi jenis-jenis rangsangan sekaligus obat penawarnya. Dibawah ini
adalah 6 tablet pereda emosi, antara lain:
1. Marah,
ucapkan Istighfar, Astaghfirullah
2. Kehilangan
dan sedih, ucapkan Innalillahi wa inna
ilaihi raa’jiuun
3. Bahagia,
ucapkan Alhamdulillah
4. Takut,
ucapkan SubhanaAllah
5.
Panik, ucapkan laa hawlaa walaa quwwata illa billah
Ucapan-ucapan tersebut berfungsi
sebagai pengendali diri agar emosi tetap terkendali atau stabil. Dan diharapkan
dengan bacaan tersebut akan membawa manusia kembali mengingat kebesaran Allah
sehingga emosi akan menjadi normal kembali.
III.
Kecerdasan
Spiritual (Spiritual Quotient/SQ)
Spiritual
artinya spirit atau murni. Arti tersebut akan diaplikasikan untuk memahani
bagaimana menyaring jiwa kita agar jernih seperti ruh yang suci. Spiritual ini
berfungsi sebagai drive (dorongan)
dan juga sebagai value (nilai) yaitu
berupa bisikan suara hati, atau yang lebih umumnya dinamakan qalbu.
Spiritual yang terletak pada Got
Spot berfungsi memberikan bisikan-bisikan suara hati yang senantiasa mendorong
kearah mulia. Lebih jauh lagi, apabila seorang mengikuti dorongan suara hati
tersebut, maka pada saat itulah manusia mengalami apa yang disebut Ultimate Meaning atau “ makna puncak”
(nilai spiritual). Bahkan banyak yang mengalami apa yang disebut spiritual experience atau biasa disebut
“Lailatul Qodar” (malam seribu bulan) artinya apabila seseorang telah merasakan
spiritual experience secara tidak
langsung dia akan merasakan seolah –
olah menerima sebuah hidayah yang begitu besar.
Spiritualisme mampu menghasilkan
lima hal yaitu :
1. Integritas
berupa kejujuran.
2.
Energi berupa semangat.
3.
Inspirasi berupa ide dan inisiatif.
4.
Wisdom berupa kebijaksanaan.
5. Keberanian
dalam mengambil keputusan.
Semua sepakat
dan setuju bahwa spiritualisme terbukti mampu membawa seseorang menuju tangga
kesuksesan dan berperan besar menciptakan mereka menjadi seorang Powerful Leader (pemimpin yang kuat).
Potensi energi
spiritual yang dimiliki oleh setiap manusia merupakan dorongan untuk mencari
kebenaran, keadilan, kedamaian, dan kasih sayang. Energi spiritual ini
diciptakan oleh Allah dan ditiupkan kedalam ruh manusia. Energi ini sifatnya
kekal dan sangat kuat. Meski manusia mencoba manahan, niscaya ia tidak akan
pernah berhasil. Contohnya, suatu golongan yang mencoba melawan energi keadilan
dan kebenaran, akan berakhir pada kehancuran yang memilukan. Sebaliknya, mereka
yang mengetahui bagaimana cara memanfaatkan energi tersebut, maka ia akan
melakukan surfing (berselancar) diatas
kekuatan gelombang spiritual yang luar biasa.
Sistem pemprosesan energi
spiritual, langkah nya yaitu:
1. Mengenal
suara hati yang merupakan tiupan ruh ilahi.
2.
Bebaskan cover hitam (kegelapan) yang
menutupi God spot.
3. Tanamkan
nilai – nilai spiritual dan prinsip mental Tauhid.
Prinsip
Tauhid akan mampu menciptakan kestabilan emosi yang mendekati sempurna,
sehingga mampu mengeluarkan potensi suara hati yang berada dalam God Spot
(Titik Tuhan).
Setelah mengetahui IQ, EQ, serta SQ
secara umum, kita berlanjut pada hubungan antara ketiganya[ Dalam buku yang
ditulis oleh Ary Ginanjar “ESQ Power”,
terdapat
bagan seperti ini :
Pada
bagan tersebut, antara EQ (Kecerdasan Emosi), SQ (Kecerdasan Spiritual), dan IQ
(Kecerdasan Intelektual) memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Ketika
masalah dan tantangan datang, radar hati akan menangkap sinyal tersebut. Jika
radar hati kita berorientasi pada Materialisme (bagian kiri), emosi yang
dihasilkan adalah emosi yang tidak terkendali dan akan menimbulkan sikap
seperti marah, sedih, kesal, takut, dan sebagainya. Akibat dari emosi yang
tidak terkendali ini maka God Spot (didalamnya terdapat suara hati yang
merupakan tiupan ruh illlahi) menjadi terbelenggu sehingga suara hati tidak
memiliki peluang untuk muncul. Bisikan suara hati yang bersifat mulia pun tidak
dapat terdengar dan God Spot menjadi tidak berfungsi, dan ini akan mempengaruhi
kecerdasan lainnya. Karena suara hati telah tertutup, maka yang berperan
penting saat ini hanyalah emosi semata. Emosi ini kemudian juga mempengaruhi
kecerdasan intelektual. Kecerdasaan intelektual ini akan melakukan perhitungan,
tetapi berdasarkan dorongan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, iri hati, dan
kedengkian. Sehingga IQ – EQ – SQ tidak bersinergi.
Sedangkan
dalam kasus yang berbeda. Ketika masalah dan tantangan datang, radar hati
menangkap getaran sinyal tersebut dan berorientasi pada spiritualisme tauhid,
kesadaran tauhid akan mengendalikan emosi, hasilnya adalah emosi yang
terkendali seperti rasa tenang, damai, dan sebagainya. Jika emosi terkendali
dengan baik, maka God Spot/Pintu Hati akan terbuka dan berfungsi sebagaimana
mestinya. Maka terdengar suara hati yang mengajak kepada sifat keadilan, kasih
sayang, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, kreativitas, komitmen,
kebersamaan, perdamaian, dan lain sebagainya. Dari suara hati yang mulia itulah
potensi kecerdasan intelektual bekerja secara optimal. Sehingga lahir lah
sebuah Meta Kecerdasan yaitu
integrasi antara IQ – EQ – SQ.
“Apabila umat manusia melakukan pendekatan diri kepada
Tuhan Pencipta mereka dengan bermacam – macam kebaikan, maka mendekatlah
engakau dengan akal mu, niscaya engkau merasakan nikmat yang lebih banyak,
yaitu dekat dengan manusia di dunia dan dekat kepada Allah di akhirat”.
Al-hadits.
Berdasarkan kutipan al-hadits tersebut, jika antara
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual
bersinergi dan menjadi apa yang disebut Meta Kecerdasan. Maka segala sesuatu
pun akan menjadi lebih terasa ringan dan nikmatnya pun terasa lebih banyak.
Tentu saja hal ini akan berkebalikan jika ketiga kecerdasan tersebut tidak
terintegrasi dengan baik, maka hal – hal yang merugikan sudah menunggu di depan
mata, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan penjelasan diawal, Dimensi Fisik (IQ) merujuk
pada Aplikasi, Dimensi Emosi (EQ)
merujuk pada Mentalitas, Dimensi
Spiritual (SQ) merujuk pada Nilai –
Nilai Ihsan. Dan apabila ketiga kecerdasan tersebut dapat dimiliki dan
diamalkan oleh setiap manusia, maka akan terbentuk akhlakul karimah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Konsep ihsan menekankan tentang
bagaimana menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seseorang menjadi
selaras dengan perbuatan dan pemahaman seseorang.
-
Cara
membentuk Akhlakul karimah adalah dengan menggabungkan antara Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosional dan
Kecerdasan Spiritual sehingga terbentuk
Meta Kecerdasan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian,
Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses
Membangkitkan ESQ Power. Jakarta : Arga.
Agustian,
Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : Arga.
Satiadarma
P.Monty dan Fidelis E. Waruwu. 2003. Mendidik
Kecerdasan. Jakarta : Ustaka Populer Obor.
Zohar
Danah dan Ian Marshall. 2007. Kecerdasan
Spiritual (SQ). Bandung : Mizan Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar