Senin, 07 Maret 2016

MANUSIA SEMPURNA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang paling dibandingkan dibandingkan ciptaan lainnya karena manusia dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Sebagai mana telah dijelaskan dalam al-quran tentang kesempurnaan penciptaan manusia kesempurnaan penciptaan manusia itu kemudian semakin disempurnakan oleh Allah dengan mengangkat manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang mengatur alam dan ekosistem ilahiyah yang rahmatan lil alamin, menaburkan potensi keselarasan kemanfaatan musyawarah dan kasih sayang kepenjuru alam serta memberdayakan seluruh ciptaanNya agar bermakna.
Keberadaan manusia dengan predikat yang paling sempurna itu tidak selamana membawa manusia manjalani kehidupannya dengan kesenangan dan kebahagiaan, kesedihan dan kesengsaraan. Kesedihan dan kesengsaraan membuntuti perjalanan hidup manusia. Karena manusia  dikaruniai kemampuan dengan derajat paling tinggi, maka kesenangan, kebahagiaan dan kesedihan atau kesengsaraan itu berada ditangan manusia itu sendiri.
Mengingat keadaan seperti itulah, maka manusia memerlukan upaya untuk menjaga agar dirinya tetap bahagia dan tidak terjerumuskan kedalam lembah kehinaan. Potensi-potensi yang ada pada diri manusia itulah yang akan mengantar manusia menuju kearah akhsani taqwim (potensi terbaik) dan tidak terjerumus ke dalam asfala safilin (kehinaan atau kerendahan).
Pada dasarnya fitrah manusia itu adalah baik, agar fitrah manusia itu teruji maka pada diri manusia dilengkapi dengan keresahan-keresahan dan godaan-godaan yang berlawanan dengan fitrah manusia. Manusia juga dilengkapi dengan potensi untuk memperoleh kesenangan, ambisi, kemenangan yang dapat membuat fitrah manusia itu dalam kegelapan. Maka makalah ini  berusaha membahas bahwa manusia merupakan makhluk paling sempurna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiman proses penciptaan Nur Muhammad?
2.      Apakah yang dimaksud wahdah al-wujud?
3.      Apa pengertian insan kamil?
4.      Bagaimana ciri-ciri insan kamil?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui proses penciptaan Nur Muhammad.
2.      Memahami pengertian wahdah al-wujud.
3.      mengetahui pengertian insan kamil.
4.      Mengetahui bagaimana ciri-ciri insan kamil.

                                                                 
BAB II
PEMBAHASAN

Tasawuf memiliki tujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia berada di hadirat Tuhan. Kesadaran ini akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara manusia dengan Tuhan. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT.  Secara filosof, pengungkapan bermacam-macam ajaran melalui terminologi filosofis yang kemudian disebut dengan tasawuf falsafi.
Sebagai tasawuf yang bercampur dengan pemahaman filsafat, tasawuf falsafi memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Adapun karakteristik tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang yang memahaminya. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena metode ajarannya didasarkan pada rasa (dzauq) dan tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa dan terminologi filsafat, dan cenderung kepada panteisme[1].
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan Allah. Tasawuf ini ditekankan pada tujuan pencapaian manusia sempurna yang merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya sebagai refleksi gambaran nama dan sifat-sifat-Nya. Kondisi ini dapat terwujud apabila manusia sudah dapat mencapai kesatuan mutlak dengan Tuhannya. 

A.      Nur Muhammad
Proses terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1.    Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2.    Tanaazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.    Tanaazul kepada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4.    Tanaazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsaal (ide) atau khayal.
5.    Alam materi, yaitu alam indrawi.
Tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran, dapat dijelaskan melalui Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun. Kemudian melalui wujud Haqiqah Muhammadiyah sebagai pelimpahan pertamadari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan proses tahapan-tahapannya yang telah dikemukakan di atas.
Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan sumber pelimpahan dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan sejak zaman nabi Adam sampai nabi Muhammad, sedangkan Muhammad terealisasikan pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali.
Menurut Al-Jilli, manusia sempurna adalah manusia yang menjadi sadar akan diri-Nya dalam segala aspeknya. Hakekat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Muhammad. Bila Muhammad telah mati, ia mati secara tubuh. Akan tetapi, Nur Muhammad / hakekat Muhammad itu tetap hidup dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Sebab ia adalah sebagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, dan Muhammad adalah satu.
B.       Wahdah al-Wujud
Wahdah al-wujud merupakan ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat memiliki arti sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, wahdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk berbagai macam arti. Di kalangan ulama klasik, ada yang mengartikan wahdah sebagai suatu zat yang tidak dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Lain halnya dengan  para ahli filsafat dan sufistik yang memiliki pandangan bahwa wahdah merupakan sebagai suatu bentuk kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan[2].
Paham wahdah al-wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi pada tahun 1165 M. Beliau lahir di Murcia, Spanyol. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145 M, dan di sana ia masuk aliran sufi. Pada tahun 1202 M, ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun 1240 M.
Menurut pemikiran tasawuf dari Ibn Arabi, Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya, maka dijadikanlah alam. Alam merupakan cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya karena pada benda-benda yang terdapat pada alam esensinya ialah sifat Ketuhanannya. Dari sinilah timbul paham kesatuan wujud. Benda-benda yang terlihat banyak pada alam ini, pada hakikatnya itu semua satu. Seperti seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin di sekelilingnya. Dalam cermin-cermin itu dirinya terlihat banyak, tetapi dirinya hanya satu.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khali pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikatnya. Kalau ada yang mengira terdapatnya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera dan akal. Sementara itu, pancaindera dan akal terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat Dzat Allah. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu Arabi berikut ini.[3]
سُبْحَانَ مَنْ اَظْهَرُاْلاشْيَاءِوَهُوَعَيْنُهَا
Maha suci Allah yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan wujud yang qadim (Khaliq) dengan wujud yang baru, yaitu makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dan ma’bud (yang disembah), keduanya adalah satu. Perbedaan itu hanya terdapat pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Akan tetapi cara pandang manusia tentang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang satu, yaitu keduanya adalah sisi untuk hakikat yang satu, mereka akan mengetahui bahwa dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Makhluk yang dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepada-Nya adalah sebagian sebab dari segala yang wujud selain Tuhan. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud yang hakiki atau wajibul wujud. Sementara makhluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada di dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud yang sesungguhnya hanyalah Allah, dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak memiliki wujud. Hal demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai berikut: 

اِنّ المُحْدِثَقَدْثَبَتَ حُدُوثُهُ وَاِفْتِقَارُهُ إِلَى مُحْدِثٍ اَحْدَثَهُ لِاَمْكَانِهِ لِنَفْسِهِ فَوُخُودُهُ مِنْ غَيْرِهِ٠٠٠وَلَابُدَّاَنْ يَّكُونَ الْمُسْتَنَدُاِلَيْهِ وَاجَبَ اْلوُجُوْدِلِذَاتِهِ غَنِيًّافِى وُجُودِهِ بِنَفْسِهِ غَيْرَمُفْتَقِرٍوَهُوَالَّذِى اَعْطَى اْلوُجُودَبِذَاتِهِ لِهَذَاالْحَدِيْثِ  اَلْحَدِيْثُ وَاجِبُ الْوُجُدِوَلٰكِنْ وُجُوبُهُ بِغَيْرِهِ لَابِنَفْسِهِ٬
Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia behajat kepada Khaliq yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mungkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain... dan sesuatu yang lain tempat ia mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.[4]
Paham Wahdatul Wujud tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, begitu pula Tuhan memiliki unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang tampak, sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak tampak dan merupakan pancaran, bayangan Tuhan. Unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanan yang tampak di alam ini, dan unsur batinnya adalah zat Tuhan. Dalam paham wahdatul wujud, yang terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan.
Al-Quran memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin sebagaimana yang dikemukakan oleh paham wahdatul wujud itu. Misalnya pada QS. Al Hadid :3 yang berbunyi :
هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡأٓخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلۡبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ ٣
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas dapat diartikan bahwa Tuhan ada sebelum segala sesuatu yang ada dan al-akhir ialah tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang Zahir” berarti yang nyata adanya karena bukti-buktinya dan “Yang Bathin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal.
Uraian tentang wujud manusia yang bergantung kepada wujud Tuhan dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah sebagai Yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai dengan QS. Fathir : 15 yang berbunyi :
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ١٥
Artinya : Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
C.      Al-Insan Al-Kamil
Al-insan al-kamil berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Insan dan Kamil. Insan berarti manusia, dan kamil berarti manusia. Dengan demikian, insan kamil memiliki arti manusia yang sempurna.
Dalam bahasa Arab, kata insan mengacu pada sifat manusia yang terpuji, seperti kasih sayang, mulia, dan lainnya. Sedangkan para filosof klasik menunjukkan kata insan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Kamil dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan kesempurnaan zat dan sifat. Hal ini dapat terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi kelengkapan, seperti ilmu dan sifat baik lainnya.
Insan Kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya (aktifitas sehari-hari). Insal kamil juga berarti manusia yang sehat terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah inilah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil yang akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT[5]:
يَوْمَ لَايَنْفَحُ مَالٌ وَلَابَنُونَ۞إِلَّامَناَتيَ اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (الشعراء: ٨٨-٨٩)
(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS. Asy-Syu’ara, 26: 88-89).
Ayat tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah yang menyatakan:
اِنَّ اللّٰهَ لَايَنْظُرُإِلَى صُوَرِكُمْ وَلَااِلَى اَجْسَامِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُإِلَى قُلوبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan melihat rupa, tubuh dan harta kamu, tetapi Allah melihat pada hati dan perbuatan kamu.(HR. Thabrani).
Ayat dan hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan manusia adalah batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang demikian itulah yang dapat di sebut sebagai insan kamil.
Ciri-ciri insan kamil dapat diketahui dengan melihat berbagai pendapat para ulama yang keilmuannya sudah diakui serta didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.      Berfungsi akalnya secara optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti jujur, adil, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan itu semua walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut[6].
2.      Berfungsi intuisinya
Insan kamil dapat juga diartikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia. Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan[7].
3.      Mampu menciptakan budaya
Sebagai bentuk pengalaman dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniyyah secara optimal. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban[8]
4.      Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang bersal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakanambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar karena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain[9].
5.      Berakhlak mulia
Manusia memiliki tiga aspek, yakni kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal adalah manusia yang memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan[10].
6.      Berjiwa seimbang
Manusia modern tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar yang bersifat ruhaniyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yangberarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat maka keseimbangan akan semakin rusak[11].



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Proses penciptaan Nur Muhammad adalah sebagai berikut :
a.       Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
b.      Tanaazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
c.       Tanaazul kepada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiah berpikir.
d.      Tanaazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsaal (ide) atau khayal.
e.       Alam materi, yaitu alam indrawi.
2.      Wahdah al-Wujud secara garis besar adalah cerminan dari Allah. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud yang hakiki atau wajibul wujud. Sementara makhluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada di dirinya, yaitu Tuhan.
3.      Ihsan kamil adalah manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya (aktifitas sehari-hari).
4.      Ciri-ciri insan kamil:
a.       Berfungsi akalnya secara optimal
b.      Berfungsi intuisinya
c.       Mampu menciptakan budaya
d.      Menghiasi diri dengan sifat-sifat Ketuhanan
e.       Berakhlak mulia
f.       Berjiwa seimbang



[1] Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.
[2]  Harun Nasution, Islam Rasional, 1983, Bandung: Mizan, hlm. 92
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, 2012, Jakarta: Amzah, hlm 275
[4] Harun Nasution, op. cit. , hlm. 94-95
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 1996, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 262-263.

[6] Dawam Rahardjo, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, 1987, Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 43.
[7] Ibid, . hlm 65.
[8] Formulasi di atas diambil secara bebas dari M. Sastrapartedja, Culture and Religion, hlm. 25.
[9] Hadimulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Syari’ati, dalam Dawam Rahardjo (ed.), ibid. , hlm. 175-176.
[10] Ibid., hlm. 176.
[11] Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut Hossein Nash, hlm 192.

0 komentar:

Posting Komentar