BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang paling
dibandingkan dibandingkan ciptaan lainnya karena manusia dibekali dengan akal
dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Sebagai mana telah
dijelaskan dalam al-quran tentang kesempurnaan penciptaan manusia kesempurnaan
penciptaan manusia itu kemudian semakin disempurnakan oleh Allah dengan
mengangkat manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang mengatur alam dan
ekosistem ilahiyah yang rahmatan lil alamin, menaburkan potensi keselarasan
kemanfaatan musyawarah dan kasih sayang kepenjuru alam serta memberdayakan
seluruh ciptaanNya agar bermakna.
Keberadaan manusia dengan predikat yang paling
sempurna itu tidak selamana membawa manusia manjalani kehidupannya dengan
kesenangan dan kebahagiaan, kesedihan dan kesengsaraan. Kesedihan dan
kesengsaraan membuntuti perjalanan hidup manusia. Karena manusia dikaruniai kemampuan dengan derajat paling
tinggi, maka kesenangan, kebahagiaan dan kesedihan atau kesengsaraan itu berada
ditangan manusia itu sendiri.
Mengingat keadaan seperti itulah, maka manusia
memerlukan upaya untuk menjaga agar dirinya tetap bahagia dan tidak
terjerumuskan kedalam lembah kehinaan. Potensi-potensi yang ada pada diri
manusia itulah yang akan mengantar manusia menuju kearah akhsani taqwim (potensi terbaik) dan tidak terjerumus ke dalam asfala safilin (kehinaan atau
kerendahan).
Pada dasarnya fitrah manusia itu adalah baik, agar
fitrah manusia itu teruji maka pada diri manusia dilengkapi dengan
keresahan-keresahan dan godaan-godaan yang berlawanan dengan fitrah manusia.
Manusia juga dilengkapi dengan potensi untuk memperoleh kesenangan, ambisi,
kemenangan yang dapat membuat fitrah manusia itu dalam kegelapan. Maka makalah
ini berusaha membahas bahwa manusia
merupakan makhluk paling sempurna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiman proses penciptaan Nur Muhammad?
2.
Apakah yang dimaksud wahdah al-wujud?
3.
Apa pengertian insan kamil?
4.
Bagaimana ciri-ciri insan kamil?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui proses penciptaan Nur
Muhammad.
2.
Memahami pengertian wahdah al-wujud.
3.
mengetahui pengertian insan kamil.
4.
Mengetahui bagaimana ciri-ciri insan
kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
Tasawuf memiliki tujuan untuk memperoleh
suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai
makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia berada di hadirat Tuhan. Kesadaran
ini akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara manusia dengan Tuhan. Dari
uraian di atas, dapat diketahui bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang
mempelajari suatu cara bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah
SWT. Secara filosof, pengungkapan
bermacam-macam ajaran melalui terminologi filosofis yang kemudian disebut
dengan tasawuf falsafi.
Sebagai tasawuf yang bercampur dengan
pemahaman filsafat, tasawuf falsafi memiliki karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan tasawuf Sunni. Adapun karakteristik tasawuf falsafi secara umum
mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang
hanya dapat dipahami oleh mereka yang yang memahaminya. Tasawuf falsafi tidak
dapat dipandang sebagai filsafat, karena metode ajarannya didasarkan pada rasa
(dzauq) dan tidak dapat dikategorikan
sebagai tasawuf yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa
dan terminologi filsafat, dan cenderung kepada panteisme[1].
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan
latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan
Allah. Tasawuf ini ditekankan pada tujuan pencapaian manusia sempurna yang
merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya sebagai refleksi gambaran
nama dan sifat-sifat-Nya. Kondisi ini dapat terwujud apabila manusia sudah
dapat mencapai kesatuan mutlak dengan Tuhannya.
A. Nur Muhammad
Proses terjadinya alam ini tidak
bisa dipisahkan dari ajaran Haqiqah
Muhammadiyyah atau Nur Muhammad.
Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1.
Tajalli
dzat
Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2.
Tanaazul
dzat
Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah,
yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.
Tanaazul
kepada
realitas-realitas nafsiyah, yaitu
alam nafsiah berpikir.
4.
Tanaazul
Tuhan
dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsaal (ide) atau khayal.
5.
Alam materi, yaitu alam indrawi.
Tahapan-tahapan
kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran, dapat
dijelaskan melalui Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri
dan tidak berhajat kepada suatu apapun. Kemudian melalui wujud Haqiqah Muhammadiyah sebagai pelimpahan
pertamadari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan proses
tahapan-tahapannya yang telah dikemukakan di atas.
Ibn
‘Arabi menyatakan bahwa Nur Muhammad itu
qadim dan sumber pelimpahan dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan
amaliah yang terealisasikan sejak zaman nabi Adam sampai nabi Muhammad, sedangkan
Muhammad terealisasikan pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali.
Menurut Al-Jilli,
manusia sempurna adalah manusia yang menjadi sadar akan diri-Nya dalam segala
aspeknya. Hakekat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Muhammad. Bila Muhammad
telah mati, ia mati secara tubuh. Akan tetapi, Nur Muhammad / hakekat Muhammad
itu tetap hidup dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup.
Sebab ia adalah sebagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, dan Muhammad adalah
satu.
B. Wahdah al-Wujud
Wahdah al-wujud merupakan ungkapan
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat memiliki arti
sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian, wahdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya
digunakan untuk berbagai macam arti. Di kalangan ulama klasik, ada yang
mengartikan wahdah sebagai suatu zat yang tidak dapat dibagi menjadi bagian
yang lebih kecil. Lain halnya dengan
para ahli filsafat dan sufistik yang memiliki pandangan bahwa wahdah
merupakan sebagai suatu bentuk kesatuan antara materi dan roh, substansi
(hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara
alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan[2].
Paham wahdah al-wujud dibawa oleh
Muhyiddin Ibn Arabi pada tahun 1165 M. Beliau lahir di Murcia, Spanyol. Setelah
selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145 M, dan di sana ia
masuk aliran sufi. Pada tahun 1202 M, ia pergi ke Mekkah dan meninggal di
Damaskus tahun 1240 M.
Menurut pemikiran tasawuf dari Ibn
Arabi, Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya, maka dijadikanlah alam.
Alam merupakan cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya karena pada benda-benda
yang terdapat pada alam esensinya ialah sifat Ketuhanannya. Dari sinilah timbul
paham kesatuan wujud. Benda-benda yang terlihat banyak pada alam ini, pada
hakikatnya itu semua satu. Seperti seseorang yang melihat dirinya dalam
beberapa cermin di sekelilingnya. Dalam cermin-cermin itu dirinya terlihat
banyak, tetapi dirinya hanya satu.
Menurut
Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud
makhluk adalah wujud khali pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik
dan makhluk) dari segi hakikatnya. Kalau ada yang mengira terdapatnya perbedaan
wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera dan
akal. Sementara itu, pancaindera dan akal terbatas kemampuannya dalam menangkap
hakikat Dzat Allah. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu Arabi berikut ini.[3]
سُبْحَانَ
مَنْ اَظْهَرُاْلاشْيَاءِوَهُوَعَيْنُهَا
Maha suci Allah yang telah
menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.
Menurut
Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan wujud yang qadim (Khaliq) dengan wujud yang baru, yaitu makhluk. Tidak ada
perbedaan antara abid (penyembah) dan
ma’bud (yang disembah), keduanya
adalah satu. Perbedaan itu hanya terdapat pada rupa dan ragam dari hakikat yang
satu. Akan tetapi cara pandang manusia tentang keduanya dengan pandangan bahwa
keduanya adalah Khaliq dari sisi yang
satu dan makhluk dari sisi yang lain.
Jika mereka memandang dari sisi yang satu, yaitu keduanya adalah sisi untuk
hakikat yang satu, mereka akan mengetahui bahwa dzatnya satu yang tidak
terbilang dan berpisah.
Makhluk
yang dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepada-Nya adalah sebagian sebab
dari segala yang wujud selain Tuhan. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud
yang hakiki atau wajibul wujud. Sementara makhluk sebagai yang diciptakan-Nya
hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada di dirinya,
yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud yang sesungguhnya hanyalah
Allah, dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak memiliki wujud. Hal
demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
اِنّ
المُحْدِثَقَدْثَبَتَ حُدُوثُهُ وَاِفْتِقَارُهُ إِلَى مُحْدِثٍ اَحْدَثَهُ
لِاَمْكَانِهِ لِنَفْسِهِ فَوُخُودُهُ مِنْ غَيْرِهِ٠٠٠وَلَابُدَّاَنْ يَّكُونَ
الْمُسْتَنَدُاِلَيْهِ وَاجَبَ اْلوُجُوْدِلِذَاتِهِ غَنِيًّافِى وُجُودِهِ
بِنَفْسِهِ غَيْرَمُفْتَقِرٍوَهُوَالَّذِى اَعْطَى اْلوُجُودَبِذَاتِهِ
لِهَذَاالْحَدِيْثِ اَلْحَدِيْثُ وَاجِبُ
الْوُجُدِوَلٰكِنْ وُجُوبُهُ بِغَيْرِهِ لَابِنَفْسِهِ٬
Sudah
menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia behajat kepada
Khaliq yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mungkin (mungkin ada
mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang
lain... dan sesuatu yang lain tempat ia mempunyai wujud yang bersifat wajib,
berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah
yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan. Dengan demikian
yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada
sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.[4]
Paham
Wahdatul Wujud tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan
batin, begitu pula Tuhan memiliki unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia
adalah wujud fisiknya yang tampak, sedangkan unsur batinnya adalah roh atau
jiwanya yang tidak tampak dan merupakan pancaran, bayangan Tuhan. Unsur lahir
pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanan yang tampak di alam ini, dan unsur
batinnya adalah zat Tuhan. Dalam paham wahdatul wujud, yang terjadi adalah
bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan.
Al-Quran
memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin sebagaimana yang
dikemukakan oleh paham wahdatul wujud itu. Misalnya pada QS. Al Hadid :3 yang
berbunyi :
هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡأٓخِرُ
وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلۡبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ ٣
Artinya
: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang
Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat
di atas dapat diartikan bahwa Tuhan ada sebelum segala sesuatu yang ada dan al-akhir ialah tetap ada setelah segala
sesuatu musnah. “Yang Zahir” berarti yang nyata adanya karena bukti-buktinya
dan “Yang Bathin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal.
Uraian
tentang wujud manusia yang bergantung kepada wujud Tuhan dapat dipahami bahwa
manusia adalah makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah sebagai
Yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai dengan QS. Fathir : 15 yang berbunyi
:
۞يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ
١٥
Artinya : Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada
Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji.
C. Al-Insan Al-Kamil
Al-insan al-kamil berasal dari
bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Insan dan Kamil. Insan berarti
manusia, dan kamil berarti manusia.
Dengan demikian, insan kamil memiliki arti manusia yang sempurna.
Dalam bahasa Arab, kata insan mengacu pada sifat manusia yang
terpuji, seperti kasih sayang, mulia, dan lainnya. Sedangkan para filosof
klasik menunjukkan kata insan pada
arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat
manusia. Kata insan juga digunakan
untuk menunjukkan terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik
yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan
lainnya.
Kamil
dapat
diartikan sebagai suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan
kesempurnaan zat dan sifat. Hal ini dapat terjadi melalui terkumpulnya sejumlah
potensi kelengkapan, seperti ilmu dan sifat baik lainnya.
Insan
Kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan
potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan
lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi
basyariahnya (aktifitas sehari-hari). Insal kamil juga berarti manusia yang
sehat terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan
dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut
akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah inilah yang diharapkan dari
manusia Insan Kamil yang akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT[5]:
يَوْمَ لَايَنْفَحُ مَالٌ وَلَابَنُونَ۞إِلَّامَناَتيَ
اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (الشعراء: ٨٨-٨٩)
(yaitu)
di hari harta dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS.
Asy-Syu’ara, 26: 88-89).
Ayat tersebut sejalan dengan sabda
Rasulullah yang menyatakan:
اِنَّ
اللّٰهَ لَايَنْظُرُإِلَى صُوَرِكُمْ وَلَااِلَى اَجْسَامِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ
وَلٰكِنْ يَنْظُرُإِلَى قُلوبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan
melihat rupa, tubuh dan harta kamu, tetapi Allah melihat pada hati dan
perbuatan kamu.(HR. Thabrani).
Ayat dan hadits
tersebut di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan manusia adalah
batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang demikian itulah yang
dapat di sebut sebagai insan kamil.
Ciri-ciri
insan kamil dapat diketahui dengan melihat berbagai pendapat para ulama yang
keilmuannya sudah diakui serta didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut
diuraikan sebagai berikut:
1.
Berfungsi akalnya secara optimal
Fungsi
akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti jujur, adil, berakhlak sesuai dengan essensinya dan
merasa wajib melakukan itu semua walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang
baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.
Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan
buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut[6].
2.
Berfungsi intuisinya
Insan
kamil dapat juga diartikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.
Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia. Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir
menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan[7].
3.
Mampu menciptakan budaya
Sebagai
bentuk pengalaman dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai
insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensi rohaniyyah secara optimal. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat
kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna
memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban[8]
4.
Menghiasi diri dengan sifat-sifat
ketuhanan
Pada
uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia
termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada
hal-hal yang bersal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut
menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang
demikian itu merupakanambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan
nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu.
Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar karena memiliki daya
kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu
manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat
mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain[9].
5.
Berakhlak mulia
Manusia
memiliki tiga aspek, yakni kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain
ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan
kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal adalah manusia yang
memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu
menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang
menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan[10].
6.
Berjiwa seimbang
Manusia
modern tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak
pada aspek kedalamannya yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah
bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang.
Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang
hakiki. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar yang
bersifat ruhaniyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin,
yangberarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada
kebutuhan materi kian meningkat maka keseimbangan akan semakin rusak[11].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Proses penciptaan Nur Muhammad adalah
sebagai berikut :
a.
Tajalli
dzat
Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
b.
Tanaazul
dzat
Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah,
yaitu alam arwah yang mujarrad.
c.
Tanaazul
kepada
realitas-realitas nafsiyah, yaitu
alam nafsiah berpikir.
d.
Tanaazul
Tuhan
dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsaal (ide) atau khayal.
e.
Alam materi, yaitu alam indrawi.
2.
Wahdah al-Wujud secara garis besar
adalah cerminan dari Allah. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud yang
hakiki atau wajibul wujud. Sementara makhluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya
mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada di dirinya, yaitu
Tuhan.
3.
Ihsan kamil adalah manusia yang sempurna
dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal
sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia
dari dimensi basyariahnya (aktifitas sehari-hari).
4.
Ciri-ciri insan kamil:
a.
Berfungsi akalnya secara optimal
b.
Berfungsi intuisinya
c.
Mampu menciptakan budaya
d.
Menghiasi diri dengan sifat-sifat
Ketuhanan
e.
Berakhlak mulia
f.
Berjiwa seimbang
0 komentar:
Posting Komentar