LATAR
BELAKANG
Pada
pembahasan ini sebagai umat islam Indonesia diharapkan memahami perkembangan
pembaharuan hukum islam di negrinya sendiri, yaitu tentang terbentuknya kompilasi
hukum islam di indonesia. Tulisan bab ini sebagian besar di kutip dari buku
kompilsai hukum islam di indonesia yang di terbitkan oleh Direktorat Pembunaan
Badan Peradilan Agama di Rektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI 1999/2000
Kebutuhan
akan adanya kompilasi hukum islam di Indonesia bagi peradilan agama sudah lama
di tunggu dan menjadi catatan sejarah bagi kementrian agama RI yang dahulunya
disebut Departemen Agama RI. Keluarnya surat edaran kepala biro peradilan agama
NU. B/1/735,tanggal 18 Februari 1958 tentang pelaksanaan PP Nu.45 tahun 1957
yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Sariah di luar
pulau Jawa dan Madura dan menunjukkan salah satu bukti tentang hal tersebut.
Upaya
pemenuhan kebutuhan akan adanya kompilasi hukum islam bagi peradilan agama
merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa Indonesia yang menyatu
dengan sejarah pertumbuahn peradilan agama itu sendiri. Pergeseran hukum islam
kearah kesatuan hukum secara tertulis dari beberapa bagian hukum islam menjadi
kewenangan peradilan agama.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kodifikasi dan Legislasi
Kodifiakasi
artinya pembukuan, yaitu pembukuan suatu aturan kedalam satu kitab hukum atau
perundang-undangan. Kodifikasi merupakan sebuah tahapan dalam upaya memberlakukan (mempositifkan) suatu aturan
hukum. Aturan hukum yang akan di undangkan terlebih dahulu harus
dikodifikasikan. sehingga kodifikasi hukum merupakan suatu keharusan dalam
upaya melegalkan aturan hukum dalam suatu negara. Aturan hukum yang sudah di
kodifikasi kemudian di proses melalui legislasi.
Legislasi
atau perundangan diartikan sebagai prosedur yang harus dilalui oleh suatu
peraturan atau sistem hukum yang akan di berlakukan dan mempunyai kekuatan
mengikat umum. Proses legislasi ini merupakan kewenangan lembaga legislatif dan
eksekutif.
B.
Hirarki
Perundang-undangan di Indonesia
Proses
pembentukan suatu perundangan pada gilirannya akan mengait pada hal-hal yang
berhubungan dengan peraturan perundangan yang berlaku baik, dalam bentuk maupun
dalam hirarki,[1]sebagaiman
termaktub dalam Tap. MPRS No.XX/MPRS/1996 jo Tap.MPR No.V/MPR/1973. Setiap
bentuk peraturan produk legslasi, baik berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, dan sebagainya mempunyai kekuatan hukum yang berbeda. Peraturan yang
tertinggi hirarkinya mempunyai kekuatan mengikat yang lebih luas dibanding
peraturan di bawahnya. Undang-Undang merupakan bentuk hukum maksimal di bawah
UUD yang memungkinkan tersalurnya
kedaulatan rakyat. Undang-Undang di bentuk untuk melaksanakan ketentuan UUD ataupun ketetapan MPR. Undang-Undang yang
dibentuk berdasarkan UUD ini disebut undang-undang organik.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) ditetapkan sendiri oleh Presiden.
Perpu mempunyai kekuatan hukum atau derajat yang sama dengan undang-undang.[2]
Peraturan Pemerintah (PP) dibuat untuk melaksanakan undang –undang dalam arti
formal,[3]sedangkan
Keppres (Keputusan Presiden) bersisi ketentuan khusus untuk melaksanakan suatu
ketentuan undang-undang,tap MPR dan Peraturan Pemerintah.
Setiap
jenis atau bentuk peraturan perundangan mempunyai materi yang berbeda.
Undang-Undang sebagai peraturan tertinggi di bawah UUD mempunyai fungsi untuk
melaksanakan ketentuan dalam UUD atau ketetapan MPR.[4].
sedangkan materi yang diatur dengan
Perpu pada prinsipnya adalah sama dengan materi yang diatur dengan UU, karena
pada kedua jenis peraturan perundangan ini kekuatan serta derajatnya sam. Hanya
saja,Perpu di tetapkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. PP berfungsi untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya. Bila dalam suatu aturan hukumnya atau pasal-pasalnya memerlukan
pelaksanaan lebih lanjut, sedangkan UU tersebut tidak memerlukannya, maka
pelaksanaannya dapat dilakukan dengan PP.
Berdasarkan
fungsi dan materi yang di atur, setiap bentuk atau jenis peraturan perundangan
merupakan penjelas atau pelaksanaan dari peraturan perundangan di atasnya.
Dengan demikian jenis peraturan yang terendah harus bersumber dan tidak
bertentangan dengan peraturan diatasnya
.
C.
Kewenangan
Legislasi
Di Indonesia langkah awal
pembentukan undang-undang ditentukan oleh UUD 1945, yang bisa berupa dua
alternatif:
a.
Berasal dari
Eksekutif (Presiden) dalam membuat suatu rancangan undang-undang untuk kemudian
di ajukan kepada DPR, sebagaiman terdapat dalam pasal 5 ayat (2).[5]
b.
Hak inisiatif
DPR (legislatif) untuk mengajukan usul undang-undang untuk kemudian harus ada
pengesahan dari Presiden (pasal 21 ayat (1)).[6]
Prosedur
diatas menunjukan bahwa ada dua jalur
dalam pengajuan suatu rancangan undang-undang, yakni dari pihak Legslatif.
Kedua lembaga tinggi negara ini dalam sistem pemerintahan indonesia merupakan
lembaga yang mempunyai kewenagan dalam pembentukan hukum. Hubungan dan
keterkaitan antara keduanya dalam Legislasi adalah saling menentukan.[7]
Dalam kenyataannya, kekuasaan
eksekutif (Presiden) sangat besar. Wewenang legislatif hanya terbatas pada
pembuatan Undang-Undang dan untuk negara tertentu membuat Undang-Undang Dasar.
Untuk Peraturan Perundangan di luar undang-undang dan Undang-Undang Dasar,
wewenang tersebut di lekatkan pada kekuasaan eksekutif, sesuai dengan ketentuan
dalam UUD 1945.[8]
Secara politis Presiden adalah kepala negara yang menjalankan segala kebijakan
pemerintahan sesuai dengan kapasitasnya sebagai mandataris. Presiden
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pemerintahan, termasuk didalamnya
pembinaan bidang hukum sesuai dengan yang telah digariskan dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Pada dasarnya undang-undang merupakan konkretisasi
atau pelaksanaan GBHN sebagai kebijaksanaan umum yang di selenggarakan oleh
Presiden selaku mandataris MPR.
Kekuasaan
Presiden juga besar dalam hal menginterpretasikan suatu peraturan terhadap
suatu masalah konkret yang dihadapinya. Kehendak Presiden tersebut dapat
dinyatakan dalam bentuk peraturan seperti PP,Kepres,Peraturan Menteri, dan
Instruksi Menteri.[9]
Presiden juga menenpati posisi yang menentukan dalam pengesahan berlakunya
undang-undang. Setiap rancangan undang-undang yang di ajukan dan di setujui
oleh DPR, baik yang berasal dari Presiden maupun inisiatif dari anggota DPR,
harus mendapat pengesahan dari Presiden. Jika Presiden menolak untuk
mengesahkan maka rancangan undang-undang tersebut tidak menjadi undang-undang.[10]
Di samping itu, Presiden mempunyai
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan selain undang-undang
tanpa minta persetujuan DPR. Dalam hal darurat Presiden dapat membuat Perpu.[11]Perpu
yang ditetapkan sendiri oleh Presiden mempunyai derajat yang sama dengan
undang-undang. Dengan demikian Presiden bisa mengubah suatu undang-undang yang
telah ditetapkan bersama DPR dengan Perpu tersebut.[12]
Setiap undang-undang baik yang di
tentukan atau tidak ditentukan secara tegas hanya dapat dilaksanakan dengan PP
(Peraturan Pemerintah),[13]karena
PP dibuat untuk melaksanakan undang-undang. Kewenangan membuat PP ada di tangan Presiden. Selain PP Presiden
juga bisa mengeluarkan Kepres yang merupakan otoritas penuh Presiden. Kepres
merupakan perwujudan kewenangan Presiden untuk membuat segala macam keputusan
untuk menyelenggarakan pemerintahan.[14]
D.
Proses
Legislasi
Proses
legislasi merupakan perpaduan antara politik hukum nasional dengan kesadaran hukum masyarakat.[15]
Kedua unsur ini mempunyai keterikatan hubungan satu sama lain. Penyesuaian arah
dan tujuan antara keduanya merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah
legislasi . pembinaan politik harus diselaraskan dengan konstitusi dan karakter
masyarakat serta tradisi dan kehidupan keagamaan dalam masyarakat.[16]
Dalam
Sistem ketatanegaraan Indonesia, dalam setiap pembentukan undang-undang harus
mendapat persetujuan DPR. Hal ini karena Indonesia adalah negara Hukum yang
menghendaki persetujuan rakyat atau wkil-wakil rakyat dalam penetapan
undang-undang.[17]
Sehingga pembentukan undang-undang merupakan titik temu antara aspirasi rakyat
yang memegang kedaulatan melalui Presiden sebagai mandataris dengan aspirasi
rakyat yang di perintah melalui wakil-wakilnya di DPR.
Membentuk
undang-undang adalah membentuk peraturan yang memiliki jenis, fungsi dan materi
yang muatannya dapat menjangkau hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban dasar
warga negara pada umumnya. Disamping itu juga untuk mewujudkan aspirasi
kedaulatan melalui mandat yang di berikan, sekaligus mewujudkan asas negara
berdasar atas hukum yang menjadi asas negara Indonesia.[18]
Suatu
norma atau kaidah hukum dapat menjadi suatu undang-undang (dalam arti materiil)
jika memenuhi dua unsur, yaitu unsur anording (penetapan peraturan hukum
dengan tegas) dan unsur redistaatz (peraturan Hukum).[19]
Kedua unsur inilah yang akan menjadi isi undang-undang dan yang menyebabkan ia
mempunya kekuatan mengikat. Dalam pembentukannya suatu peraturan perundangan
harus mempunyai landasan filosofis,yuridis, dan politis:
a.
Landasan
filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan yang menjadi dasar dan cita-cita
sewaktu menuangkan kebijakan dalam suatu rencana peraturan negara. Dalam
konteks Indonesia landasan filosofisnya adalah pancasila.
b.
Landasan
yuridis, yaitu ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu
peraturan. Di Indonesia landasan yuridisnya adalah UUD 1945 yang terbagi dalam:
1)
Landasan
yuridis formil, yang memberikn kewenangan kepada instansi tertentu untuk
membuat peraturan tertentu .
2)
Landasan
yuridis materiil, yaitu landasan yuridis dari segi isi (materi) yakni dasar
hukum untuk mengatur hal-hal tertentu.
c.
Landasan
politis, ialah garis kebijakan politik yang menjdi dasar selanjutnya dari
kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara, yang
tertuang dalam GBHN.[20]
Sebagaimana
dinyatakan diatas, bahwa suatu RUU bisa berasal dari pemerintah (eksekutif.
Prosedur yang harus ditempuh dalam proses legislasinya berbeda. RUU yang
berasal dari pemerintah disiapkan oleh masing-masing departemen dan lembaga
pemerintah sepanjang menyangkut
tugasnya.rancangan tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden disertai
penjelasan materi yang bersangkutan. Jika di setujui maka rancangan tersebut di
sampaikan kepada n pimpinan DPR denagn dilampiri amanat Presiden.[21]
Apabila
RUU tersebut berasal dari inisiatif DPR,maka harus disertai dengan memori
penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30 anggota DPR yang
berasal dari satu fraksi. Para pengusul dapat mengubah atau menarik kembali RUU
tersebut pada setiap tingkat pembicaraan sebelum di setujui menjadi RUU.[22]
RUU yang sudah di setujui oleh DPR disampaikan kepada presiden melalui pimpinan
DPR untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan dari Presiden merupakan tahap terakhir
dari proses pembentukan suatu UU. Selanjutnya UU tersebut diundangkan dalam
lembaga negara,yaitu tempat pengundangan peraturan negara agar sah berlaku.
Pengundangan dilakukan oleh Sekretaris
Negara sebagai syarat berlakunya suatu Undang-undang.[23]
E.
Contoh
Kodifikasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum
Islam
KHI
merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang ditulis, disusun dan
dikodofikasikan. Ciri khusus dari KHI ini diantaranya adalah di bab 1 setiap
buku berisi ketentuan umum yang berisi penjelasan, pengertian, atau definisi
dari istilah-istilah yang terdapat dalam pasal-pasalnya. Sehingga jika kita
mengacu pada format ini, KHI menyerupai batang tubuh suatu Undang-Undan, karena
dalam penerbitannya terbagi dalam buku, bab, bagian, pasal dan ayat.[24]
Format KHI terbagi
dalam tiga buku. Setiap buku terdiri dari beberapa bab, setiap bab terbagi
dalam beberapa bagian, setiap bab mengandung beberapa pasal. Pasal-pasal ini
memuat ayat-ayat. Buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum
Kewarisan, buku III tentang hukum perwakafan.
Secara sistematis, muatan isi masing-masing buku
dapat digambarkan sebagai berikut :
I.
Buku I tentang
Hukum Perkawinan. Terdiri dari
19 bab 170 pasal.
Bab I : Ketentuan umum, terdiri dari 1 pasal
Bab II : Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10)
Bab III : Peminangan ( pasal 11-13)
Bab IV : Rukun dan Syarat Perkawinan, terdiri dari 5 bagian. Bagian
kesatu tentang Rukun (pasal 14), bagian kedua; calon mempelai (pasal 15-18),
bagian ketiga; Wali nikah (pasal 19-23),bagian keempat; Saksi Nikah (24-26),
dan bagian kelima,; Akad Nikah (pasal 27-29)
Bab V : Mahar (pasal 30-38)
Bab VI : Larangan Kawin ( pasal 39-44)
Bab VII : Perjanjian Perkawinan
(pasal 45-52)
Bab VIII : Kawin Hamil (pasal 53-54)
Bab IX : Beristri lebih dari satu Orang
(pasal 55-59)
Bab X : Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69)
Bab XI : Batalnya Perkawinan (pasal 70-76)
Bab XII : Hak dan Kewajiban Suami Istri,
terdiri dari 6 bagian. Bagian kesatu; umum (pasal 77-78), bagian kedua;
kedudukan Suami Istri (pasal 79), bagian ketiga; Kewajiban Suami (pasal 80),
Bagian Keempat; Tempat Kediaman (pasal 81), Bagian Kelima; Kewajiban Suami yang
Beristri Lebih dari Seorang (pasal 82), dan bagian keenam; Kewajiban Istri
(pasal 83-84)
Bab XIII : Harta Kekayaan dalam Perkawinan (pasal
85-97)
Bab XIV : Pemeliharaan Anak (pasal 98-106)
Bab XV : Perwalian (pasal 107-112)
Bab XVI : Putusnya Perkawinan, terdiri dari 2
bagian. Bagian kesatu; Umum (pasal 113-128), bagian kedua; Tata Cara
Perceraian.(pasal 128-148)
Bab XVII : Akibat putusnya Perkawinan, terdiri
dari 6 bagian. Bagian kesatu; Akibat Talak (pasal 149-152), bagian kedua; Waktu
Tunggu (pasal 153-155), bagian ketiga; Akibat Perceraian (pasal 156-157),Bagian
keempat; Mut’ah (pasal 158-160), bagian kelima; Akibat Khulu’(pasal 161),
bagian keenam; Akibat Li’an (pasal 162)
Bab XVIII : Rujuk terdiri dari 2 bagian.
Bagian kesatu; Umum (pasal 163-166),bagian kedua; Tata Cara Rujuk (pasal 167-169).
Bab XIX : Masa Berkabung (pasal 170).
II. Buku
II Tentang Hukum Kewarisan. Terdiri
dari 6 bab dan 44 pasal:
Bab I :Ketentuan Umum (pasal 171)
Bab II : Ahli Waris (pasal 172-175)
Bab III : Besarnya Bagian (pasal
176-191)
Bab IV : Aul dan Rad (pasal 192-193)
Bab V : Wasiat (pasal 194-209)
Bab VI : Hibah (pasal 210-214)
III. Buku III Tentang
Hukum Perwakafan. Terdiri dari 5 bab,14 pasal (pasal 215-228) yaitu:
Bab I : Ketentuan Umum (pasal 215)
Bab II : Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-Syarat Wakaf, terdiri dari
3 bagian. Nagian kesatu; Fungsi Wakaf (pasal 216), bagian kedua; Unsur dan
Syarat-Syarat Wakaf (pasal
217-219), bagian ketiga; Kewajiban dan Hak-Hak Nadzir (pasal
220-222)
Bab III : Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf, terdiri
dari 2 bagian. Bagian kesatu;Perubahan Benda wakaf (pasal 223), bagian kedua; Pendaftaran Benda
Wakaf (224).
Bab IV : Perubahan, penyelesaian
dan Pengawasan Benda Wakaf, terdiri dari 3 bagian, bagian kesatu;
Perubahan Benda Wakaf (pasal 225), bagian kedua; Penyelesaian Perselisihan
Benda Wakaf (pasal 226), bagian ketiga; Pengawasan (pasal 227).
Bab V : Ketentuan peralihan (pasal
228)
Pasal
terakhir (pasal 229) berisi ketentuan
penutup yang menjelaskan petunjuk bagi hakim dalam menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya.
Perkembangan
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
Ada tiga periode perkembangan pembaharuan hukum islam di indonesia yaitu
1.
Periode awal-1945,
2.
Periode 1945-1985,dan
3.
Periode 1985-sekarang
Periode pertama, hukum islam mengalami pergeseran dalam kedudukannya dalam
sistem hukum yang berlaku periode kedua, terjadi pergeseran dalam bentuk hukum
yang tertulis. Sementara itu, periode ketiga terjadi perubahan menuju ke
periode taqnin, kompilasi hukum islam sebagai embrionya. Untuk
mengetahui perkembanagan tiap periode akan di bahas berikut ini.
A.
Periode Awal – 1945 : Pergeseran dalam hukum yang berlaku
Meskipun pendudukan jepan memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka islam indonesia, namun pada akhirnya mereka mengubah arah kebijakan dan
membukakan jalan untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka mulai “melirik” dan
memberi dukungan dan kepada para tokoh nasionalis indonesia. Dalam hal ini
tampaknya jepan lebih mempercayai golongan tersebut untuk memimpin Indonesia
dimasa depan. Tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti
dewan penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga
Mei 1945 komite yang terdiri atas 62 orang ini, hanya 11 orang di antaranya
mewakili kelompok islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan, “BPUPKI
bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun
Soekarno dan Mohammad Hata berusaha agar anggota badan ini cukup representatif
mewakili berbagai golongan dalan masyarakat indoneisa.”
Perdebatan panjang tentang dasar negara diBPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya apa yang disebut dengan piagam jakarta. Kalimat kompromistis yang
paling penting dalam piagam jakarta terdapat pada kalimat negara berdasar atas
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk pemeluknya.
Menurut Mohammad Yamin, kalimat ini menjadikan indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara islam.
Dengan rumusan semacam ini, lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya
pembentukan undag-undang untuk melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya.
Akan tetapi, rumusan hukum kompromistis piagam jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Namun, semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan kristen di
Indonesia. Hatta mengatakan bahwa Ia mendapat informasi tersebut dari seseoran
opsir agkatan laut jepang. Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945.
Namun, Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir Al-Jepang yang ditemui
Hatta pada saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru
Latuharhar yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhar bersama dengan Maramis, seorang tokoh islam
dari Indonesia timur lainya, telah menyetujui rumusan, kompromistis itu saat
itu sidang BPUPKI.
Hukum islam di indonesia merupakan gabungan 3 hukum yang berlaku, yaitu
hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Kedudukannya disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan
praktik peradilan. Hukum islam masuk di indonesia bersamaan dengan masuknya
agama islam. Kerajaan kerajaan islam yang berdiri melaksanakan hukum islam di
wilayahnya masing-masing. Kerajaan-kerajaan itu, misalnya samudra pasai di Aceh
Utara pada akhir abad XIII; diikuti di antara Demak, Jepara, Tuban dan Gresik.
Pada zaman VOC , kedudukan hukum islam dalam bidang kekeluargaan diakui
bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dkenal dengan Campedium
Freijer. Demikian juga telah dikumpulakan hukum perkawinan dan kewarisan
Islam di daerah Cirebon, Semarang dan Makasar.
Pada massa penjajahan belanda mula-mula hukum islam bertumpu pada Sholten
van Haarlem diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda secara tertulis dengan
istilah godsdien wetten terlihat pada Pasal 75 (lama Regeering
Reglemen )tahun 1985. Peradilan yang diperuntukan bagi mereka yang telah
ditentukan, yaitu Pristerad (peradilan agama, Stbl.1882,No.152jo1937No.116 dan
610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; Stbl. 1937N0. 638dan 639 untuk
Kalimantan selatan dan timur.) kemudian setelah merdeka, pengadilan agama atau
Mahkamah syariah (PPNo.45/1957 untuk daerah luar Jawa, Madura dan Kalimantan
selatan dan timur).
Meskipun pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1937 mengeluaran sidang
kewarisan dan kewenangan pengadilan agama di jawa dan madura dengan dikeluarkan
stbl.1937No.116, namun secara de fakto hukum islam masih tetap manjadi
pilihan umat islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan masalah kewarisan
mereka melalui pengadilan agama. Namun demikian, terjaminnya kedudukan hukum
islam dalam negara RI sebagai negara hukum berdasarkan pancasila UUD 1945
tidakkah otomatis memeberikan bentuk kepada hukum islam sebagaimana hukum
tertulis.
B.
Peiode-Periode 1945-1985: Bagi Pergeseran Bentuk Hukum Tertulis
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum nasional
tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H Muhammad
Dahlan seorang menteri agama dari kalangan muhamadiyah yang mencontohkan
menunjukan rancangan Undang-Undang Perkawinan umat islam dengan dukungan kuat
fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal, upacara ini kemudian dilanjutkan
dengan menganjurkan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
indoneisa pad a tahun 1970. Upacara ini kemudian membuahkan hasil dengan
lahirnya UU No.14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan
perlindungan yang berlindung pada Mahkamah agung melelui UU ini, menuruti
Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri.
Pemerintah RI mengungkapakan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku tidak
tertulis dan terserak di beberapa kitab yang menjadi perbedaan antara islam dan
Undang-undang No.21 tahun1945 dan No.23 tahun 1954 di maksud untuk memenuhi
kebutuahan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan
nikah telah, talak dan rujuk yang masih diatur dalam beberapa peraturan yang
bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan negara RI sebagai negara
kesatuan. Peraturan-peraturan tersebut ialah Huwellijkordonnantie S.1928
No.348jo S.1933No.98 dan Huwellijkordonnantie Buitengewesten S.1932 No.482.
Pada saat itu terjadi pergeseran beberapa bagian hukum islam ke arah
tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan UU No.42 tahun 1946.
Dijelaskan pula bahwa pada saat itu hukuman perkawinan, talak, dan rujuk bagi
umat islam sedang dikerjakan oleh Penyidik Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk
yang dipunyai oleh Mr.Teuku Mohammad Hasan.
Hal ini sesuai dengan surat edaran di biro peradilan agama (mahkamah
syariah) di luar Jawa dan Madura. Pada huruf b di surat edaran tersebut
dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan
memutuskan pekerjaan maka para hakim pengadilan agama di anjurkan
memepergunakan pedoman 13 kitab, yaitu Al-Bajuri, Fath Al-Mu’in,
Syarqawi’ala Al-Tahrir, Qulyubi (Mahalli), Fath Al-Wahhab, Tuhfah, Targhib
Al-Musytaq, Qawwanin Syar’iyyah li Al-Sayyid bin Yahya, Qawanin Syar’iyyah li
Al-Sayyid Shadaqah Dahlan, Syamsuri fi Al-Fara’idh, Bughyah Al-Mustarsyidin,
Al-Fiqh’ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-muhtaj. Dengan menunjuk
13 kitab tersebut, langkah menuju kepastian hukum semakin nyata.
Lahirnya UU No.1 tahun 1974 perkawinan dan PP No.28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik merupakan pergeseran bagian-bagian dari hukum islam ke
arah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian lain dianataranya tentang
perkawinan dan kewarisan wakaf menjadi kewenagan peradilan agama masih
berdiri diluar hukum tertulis.
Dalam rangka mencapai keseragaman tindak antara Mahkamah Agung dan
Departemen Agama dalam pembinaan badan peradilan agama sebagai salah satu
langkah menunju terlaksanya UU No.14 tahun 1970 tentang Kesatuan-Kesatuan Pokok
Kekeuasaan kehakiman. Di samping itu, untuk menghidari perbedaan penafsiran
dalam melaksanakan UUD Perkawinan No.1 Tahun 1974, pada tanggal 1 September
1976 tentang di bentuk panetia kerja yang di sebut PANKER MAHAGAM ( Panitia
Kerjasama Mahkamah Agung Departemen Agama).
Setelah adanya kerjasama dengan Mahkamah agung maka kegiatan Departemen
Agama dalam mewujukkan agama dalam mewujudkan kesatuan hukum serta berbentuk
hukum tertulis bagi hukum islam yang sdah berlaku dalam masyarakat dan sebagian
lain masih merupakan hukum tidak tertulis ; menampilkan dari dalam rangkaian
seminar, simposium, lokakarya serta penyesuaian kompilsa hukum islam bidang
hukum tertentu kegiatan-kegiatan tersebut antara lain sebagai lain berikut.
1.
Penyesuaian buku Himpunan dan Putusan Peradilan Agama 1976.
2.
Lokakarya tentang pengacara pada pengadilan agama, 1977.
3.
Seminar tentang hukum waris islam, 1978.
4.
Seminar tentang pelaksanaan uu Perkawinan, 1979
5.
Simposium beberapa bidang hukum islam, 1982.
6.
Simposium sejarah peradilan Agama, 1982.
7.
Penyusunan Himpunan Nash dan Hujah syariah, 1983.
8.
Penyusunan kompilasi peraturan perundang-undangan peradilan agama, 1981.
9.
Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama I, 1984.
10. Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama II, 1985
11. Penyusunan kompilasi hukumacara peradilan agama III, 1986.
12. Penyusunan kompilasi hukum NTCR I dan II , 1985.
Dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah diikutsertakan ahli dan beberapa
kalangan hukum terkait, seperti hakim, pengacara, notaris, kalangan perguruan
tinggi, Departemen Kehakiman, IAIN, ulama, para tokoh masyarakat, dan para
tokoh terkemuka.
C.
Periode 1985-sekarang : menuju periode taqnin
Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua
Mahkamah Agung dan Mentri Agama RI tentang penunjukan pelaksanaan proyek
pembangunan hukum islam melalui yurisprudensi no.07/KMA/1985 dan no.25 tahun
1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.
1.
Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hikum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina
bidang teknis yustisial peradilan agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada UU
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal
II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan
peradilan dilakukan oleh departemen masing-masing; sedangkan pembinaan teknis
yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut
ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama baru
pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB ketua mahkamah agung dan menteri
agama RI No. 01,02,03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1,2,3, dan 4 tahun 1983.
Keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang–Undang
tentang susunan, kekuasaan, dan acara pada peradilan agama yang merupakan
peraturan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan peradilan agama yang
pada saat itu masih dalam proses penyusunan yang intensif.
Selama pembinaan teknis, yusdisial peradilan beragama oleh mahkamah agung,
terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain tentang hukum islam yang
diterapkan di lingkungan peradilan agama yang cenderung simpang siur disebabkan
oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan adanya suatu hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang
berlaku bagi peradilan agama yang dapat diadikan pedoman oleh para hakim dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
2.
Realisai Kompilasi Hukum Islam
a.
Proses Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Proyek
yang ditunjuk SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985
dan No. 25 Tahun1985 tanggal 25 Maret 1985. Dalam SKB tersebut, ditentukan para
pejabat MA dan Depag yang ditunjuk beserta jabatannya masing – masing dalam
proyek. Pimpinan umumdipegang oleh Prof. H. Bustanil Arifin, Ketua Muda MA RI
urusan lingkungan peradilan agama;dan H. Zaini Dhlan, M. A. Sebagai wakilnya.
Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usahan pembangunan hukum Islam melalui
yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya adalah mengkaji kitab-
kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan –putusan hakim agar sesuai
dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Untuk meyelenggarakan tugas pokok tersebut, proyek pembangunan hukum Islam
dilakukan dengan cara pengumpulan data, wawancara lokakarya, dan studi banding.
b.
Pelaksanaan Proyek
Pelaksanaan
proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur penelitian kitab, pengolahan
data hasil penelitian, lokakarya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991. Berikut ini
penjelasannya.
1.
Jalur Penelitian Kitab
Pokok hukum
yang diteliti sebanyak 160 masalah hukum keluarga, seperti perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Kitab yang diteliti sebanyak 38
kitab dan dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia mulai 7 Maret sampai 21 Juni
1985. Tidak hanya itu, metode lain yang ditempuh adalah sebagai berikut.
a)
Wawancara dilakukan terhadap para ulama di 10 lokasi
pengadilan tinggi agama di berbagai daerah, mulai dari Aceh sampai Mataram.
b)
Penelitian Yurispruudensi dilaksanakan oleh Direktorat
pembinaan Badan Peradilan Agama yang telah dihimpun dalam 16 buku.5
c)
Studi perbandingan dilakukan di berbagai negara di
Timur Tengah seperti Maroko, Turki, dan Mesir.
2.
Pengolahan Data Hasil Penelitian
Hasil
penelaahan kitab, wawancara, penelitian yurisprudensi, dan studi banding diolah
oleh Tim Besar. Setelah itu, dibahas dan diolah oleh Tim Kecil, seperti Prof.
H. Bustanil Arifin; Prof. H. M. D. Kholid,S.H.,; H. Masrani Basran, S.H.,; M.
Yahwa Harahap, S.H.,; H. Zaini Dahlan, M.A.; dan H. A. Wasit Aulawi, M.A.
Tim Kecil
selanjutnya menghsilkan tiga buku naskah rancangan hukum Islam, yaitu :
a)
Buku pertama tentang perkawinan
b)
Buku kedua tentang kewarisan
c)
Buku ketiga tentang perwakafan
Rancangan
Kompilasi Hukum Islam ini selesai disusun dalam kurun waktu dua tahun sembilan
bulan setelah mengadakan rapat sebanyak dua puluh kali. Untuk itu pada tanggal
29 Desember 1987, Rancangan Kompilasi Hukum Islam secara resmi diserahkan
kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI.
3.
Lokakarya
Pada upacara
penyerahan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam, dilakukan penandatanganan
SKB oleh Ketua Mahkamah Agung, H. Ali Said, S.H. dan Menteri Agama, H.
Munawir Syadzali, M.A. tentang pelaksanaan lokakarya. Lokakarya dilakukan pada
tanggal 2-6 Februari 1988 untuk mendengarkan komentar akhir para ulama dan
sendekiawan muslim. Mereka yang hadir sebanyak 126 orang dari daerah penelitian
dan wawancara.6
4.
Inpres No. 1 Tahun 1991
Setelah naskah
akhir Kompilasi Hukum Islam mengalami penghalusan redaksi oleh Tim Besar,
selanjutnya disampaikan kepada Presiden RI oelh Menteri Agama dengan surat
tanggal 14 Maret 1988 No. MA/123/1988 agar memperoleh bentuk yuridis untuk
digunakan dalam praktik di lingkungan peradilan agama.
Selanjutnya, lahirlah
Inpres No. 1 Tahun 1991 yang di dalam diktumnya menyatakan, “Menginstruksikan
kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdirii
atas tiga buku untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya.”
Untuk
melaksanakan instruksi tersebut, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No.
154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 kepada seluruh instansi Departemen Agama
dan instansi pemerintah terkait agar menyebarluaskan dan menggunakannya dalam
masalah keluarga. Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Urusan
Haji, mengoordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri Agama RI dalam bidangnya
masing – masing.
Dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut,
Kompilasi Hukum Islam telah mendapatkan pengesahan untuk dipergunakan sebagai
pedoman, baik tugasnya sehari-hari maupun masyarakat yang memerlukannya.
[1] Faried Ali,Hukum Tata
Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,(jakarta:Raja Grafindo
Persada,1996)Hlm.140
[2] Pada dasarnya UU dan Perpu
mempunyai kedudukan dan derajat yang sama. Hanya saja Perpu ditetapkan dalam
keadaan genting atau darurat.lihat pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
[3] Prosedurnya diatur dengan Inpres RI
no. 15 tahun 1970 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU dan PP.
[5] Tata Cara pengusulannya diatur
dalam pasal 99-103 Peraturan Tata Tertib DPR-RI (keputusan DPR no. 7/DPR
RI/III/71-72 tanggal 8 januari 1972)
[6] Di Indonesia berlaku pembagian
kekuasaan (ditribution of power) bukan pemisahan, sehingga masing-masing
kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) masih berhubungan satu sama lain.
Lihat Inu Kencana Syafi’ie, Sistem Pemerintahan Indonesia (jakarta
:Rineka Cipta, 1994) Hlm.54
[8] BN.Marbun,DPR RI Pertumbuhan dan
Cara Kerjanya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992)Hlm.190-191.
[9] Pasal 21 ayat (2) UUD 1945
menyebutkan : “jika rancangan itu meskipun tidak di setuji ole DPR, tidak
disahkan oleh Presiden maka rancangan itu tidak boleh di ajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.”
[10] Mengenai pengertian darurat tidak
selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya. Cukup kiranya dengan keyakinan
Presiden keadaadn yang mendesak dan memerlukan peraturan perundangan yang
berderajat UU. Lihat Soehino,hukumTata Negara.Hlm.21
[11] CST.Kansil, Haluan Politik
Negara Indonesia,Pembahasan Ketetapan MPR.1968-1983,(Jakarta :Erlangga,
1987)Hlm.17
[12]Bagir Manan dan Kuntana Magnar,Beberapa
Masalah Hukum Ketatanegaraan Indonesia. (Bandung : Alumni, 1993) Hlm. 67
[16] A.hamid S. Attamimi,”kedudukan
dan peranan Presiden dalam fungsi legislatif Menurut Sistem Politik Demokrasi
Pancasila”. Dalam Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), fungsi
Legislatif dalam Sistem politik Indonesia.(Jakarta :Raja Grafindo
Persada.1995) Hlm.25
[20] Tidak semua Tap MPR di atur dalam
UU, hanya Tap MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif. Untuk
Tap MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif diatur dengan
Kepres. Lihat Kansil,Haluan Politik,Hlm.15
[21] Moh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, susunan
Pembagian Kekuasaan menurut UUD 1945 (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama,1994) Hlm.129
[24] Bentuk luar suatu UU atau Perpu
terdiri atas :1). Bagian penamaan yang berisi uraian singkat tentang isi
peraturan perundangan yang didahului dengan keterangan tentang jenis, kode
nomor dan tahun pembentukan peraturan perundangan yang bersangkutan. 2).
Pembukaan, berisi latar beelakang serta dasar hukum dibentuknya suatu Perpu
(termasuk didalamnya konsideran), 3). Batang tubuh berisi bagian-bagian, bab,
pasal dan seterusnya, 4). Penutup, memuat perintah perundangan, pengesahan dan
penetapan. Lihat Soehino, Hukum tata negara, Hlm .83-100
KESIMPULAN
- Kodifiakasi artinya pembukuan, yaitu pembukuan suatu aturan kedalam satu kitab hukum atau perundang-undangan dan Legislasi atau perundangan diartikan sebagai prosedur yang harus dilalui oleh suatu peraturan atau sistem hukum yang akan di berlakukan dan mempunyai kekuatan mengikat umum.
- KHI ( Kompilasi Hukum Islam) merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang ditulis, disusun dan dikodofikasikan.
·
Ada tiga periode perkembangan
pembaharuan hukum islam di indonesia yaitu
1. Periode
awal-1945,
Periode pertama, hukum islam mengalami
pergeseran dalam kedudukannya dalam sistem hukum yang berlaku.
2. Periode
1945-1985,
Periode kedua, terjadi pergeseran dalam
bentuk hukum yang tertulis.
3. Periode
1985-sekarang
Periode ketiga, terjadi perubahan menuju ke periode taqnin, kompilasi hukum islam sebagai
embrionya.
0 komentar:
Posting Komentar