Kamis, 03 Maret 2016

Legalisasi dan Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia



LATAR BELAKANG
           
Pada pembahasan ini sebagai umat islam Indonesia diharapkan memahami perkembangan pembaharuan hukum islam di negrinya sendiri, yaitu tentang terbentuknya kompilasi hukum islam di indonesia. Tulisan bab ini sebagian besar di kutip dari buku kompilsai hukum islam di indonesia yang di terbitkan oleh Direktorat Pembunaan Badan Peradilan Agama di Rektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI 1999/2000
Kebutuhan akan adanya kompilasi hukum islam di Indonesia bagi peradilan agama sudah lama di tunggu dan menjadi catatan sejarah bagi kementrian agama RI yang dahulunya disebut Departemen Agama RI. Keluarnya surat edaran kepala biro peradilan agama NU. B/1/735,tanggal 18 Februari 1958 tentang pelaksanaan PP Nu.45 tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Sariah di luar pulau Jawa dan Madura dan menunjukkan salah satu bukti tentang hal tersebut.
Upaya pemenuhan kebutuhan akan adanya kompilasi hukum islam bagi peradilan agama merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa Indonesia yang menyatu dengan sejarah pertumbuahn peradilan agama itu sendiri. Pergeseran hukum islam kearah kesatuan hukum secara tertulis dari beberapa bagian hukum islam menjadi kewenangan peradilan agama.


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kodifikasi dan Legislasi
Kodifiakasi artinya pembukuan, yaitu pembukuan suatu aturan kedalam satu kitab hukum atau perundang-undangan. Kodifikasi merupakan sebuah tahapan dalam upaya  memberlakukan (mempositifkan) suatu aturan hukum. Aturan hukum yang akan di undangkan terlebih dahulu harus dikodifikasikan. sehingga kodifikasi hukum merupakan suatu keharusan dalam upaya melegalkan aturan hukum dalam suatu negara. Aturan hukum yang sudah di kodifikasi kemudian di proses melalui legislasi.
Legislasi atau perundangan diartikan sebagai prosedur yang harus dilalui oleh suatu peraturan atau sistem hukum yang akan di berlakukan dan mempunyai kekuatan mengikat umum. Proses legislasi ini merupakan kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif.

B.     Hirarki Perundang-undangan di Indonesia
Proses pembentukan suatu perundangan pada gilirannya akan mengait pada hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundangan yang berlaku baik, dalam bentuk maupun dalam hirarki,[1]sebagaiman termaktub dalam Tap. MPRS No.XX/MPRS/1996 jo Tap.MPR No.V/MPR/1973. Setiap bentuk peraturan produk legslasi, baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya mempunyai kekuatan hukum yang berbeda. Peraturan yang tertinggi hirarkinya mempunyai kekuatan mengikat yang lebih luas dibanding peraturan di bawahnya. Undang-Undang merupakan bentuk hukum maksimal di bawah UUD  yang memungkinkan tersalurnya kedaulatan rakyat. Undang-Undang di bentuk untuk melaksanakan ketentuan  UUD ataupun ketetapan MPR. Undang-Undang yang dibentuk berdasarkan UUD ini disebut undang-undang organik.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) ditetapkan sendiri oleh Presiden. Perpu mempunyai kekuatan hukum atau derajat yang sama dengan undang-undang.[2] Peraturan Pemerintah (PP) dibuat untuk melaksanakan undang –undang dalam arti formal,[3]sedangkan Keppres (Keputusan Presiden) bersisi ketentuan khusus untuk melaksanakan suatu ketentuan undang-undang,tap MPR dan Peraturan Pemerintah.
Setiap jenis atau bentuk peraturan perundangan mempunyai materi yang berbeda. Undang-Undang sebagai peraturan tertinggi di bawah UUD mempunyai fungsi untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD atau ketetapan MPR.[4]. sedangkan  materi yang diatur dengan Perpu pada prinsipnya adalah sama dengan materi yang diatur dengan UU, karena pada kedua jenis peraturan perundangan ini kekuatan serta derajatnya sam. Hanya saja,Perpu di tetapkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. PP  berfungsi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Bila dalam suatu aturan hukumnya atau pasal-pasalnya memerlukan pelaksanaan lebih lanjut, sedangkan UU tersebut tidak memerlukannya, maka pelaksanaannya dapat dilakukan dengan PP.
Berdasarkan fungsi dan materi yang di atur, setiap bentuk atau jenis peraturan perundangan merupakan penjelas atau pelaksanaan dari peraturan perundangan di atasnya. Dengan demikian jenis peraturan yang terendah harus bersumber dan tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya
.
C.     Kewenangan Legislasi
Di Indonesia langkah awal pembentukan undang-undang ditentukan oleh UUD 1945, yang bisa berupa dua alternatif:
a.       Berasal dari Eksekutif (Presiden) dalam membuat suatu rancangan undang-undang untuk kemudian di ajukan kepada DPR, sebagaiman terdapat dalam pasal 5 ayat (2).[5]
b.      Hak inisiatif DPR (legislatif) untuk mengajukan usul undang-undang untuk kemudian harus ada pengesahan dari Presiden (pasal 21 ayat (1)).[6]
Prosedur diatas  menunjukan bahwa ada dua jalur dalam pengajuan suatu rancangan undang-undang, yakni dari pihak Legslatif. Kedua lembaga tinggi negara ini dalam sistem pemerintahan indonesia merupakan lembaga yang mempunyai kewenagan dalam pembentukan hukum. Hubungan dan keterkaitan antara keduanya dalam Legislasi adalah saling menentukan.[7]
            Dalam kenyataannya, kekuasaan eksekutif (Presiden) sangat besar. Wewenang legislatif hanya terbatas pada pembuatan Undang-Undang dan untuk negara tertentu membuat Undang-Undang Dasar. Untuk Peraturan Perundangan di luar undang-undang dan Undang-Undang Dasar, wewenang tersebut di lekatkan pada kekuasaan eksekutif, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945.[8] Secara politis Presiden adalah kepala negara yang menjalankan segala kebijakan pemerintahan sesuai dengan kapasitasnya sebagai mandataris. Presiden bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pemerintahan, termasuk didalamnya pembinaan bidang hukum sesuai dengan yang telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada dasarnya undang-undang merupakan konkretisasi atau pelaksanaan GBHN sebagai kebijaksanaan umum yang di selenggarakan oleh Presiden selaku mandataris MPR.
Kekuasaan Presiden juga besar dalam hal menginterpretasikan suatu peraturan terhadap suatu masalah konkret yang dihadapinya. Kehendak Presiden tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk peraturan seperti PP,Kepres,Peraturan Menteri, dan Instruksi Menteri.[9] Presiden juga menenpati posisi yang menentukan dalam pengesahan berlakunya undang-undang. Setiap rancangan undang-undang yang di ajukan dan di setujui oleh DPR, baik yang berasal dari Presiden maupun inisiatif dari anggota DPR, harus mendapat pengesahan dari Presiden. Jika Presiden menolak untuk mengesahkan maka rancangan undang-undang tersebut tidak menjadi undang-undang.[10]
            Di samping itu, Presiden mempunyai kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan selain undang-undang tanpa minta persetujuan DPR. Dalam hal darurat Presiden dapat membuat Perpu.[11]Perpu yang ditetapkan sendiri oleh Presiden mempunyai derajat yang sama dengan undang-undang. Dengan demikian Presiden bisa mengubah suatu undang-undang yang telah ditetapkan bersama DPR dengan Perpu tersebut.[12]
            Setiap undang-undang baik yang di tentukan atau tidak ditentukan secara tegas hanya dapat dilaksanakan dengan PP (Peraturan Pemerintah),[13]karena PP dibuat untuk melaksanakan undang-undang. Kewenangan membuat PP  ada di tangan Presiden. Selain PP Presiden juga bisa mengeluarkan Kepres yang merupakan otoritas penuh Presiden. Kepres merupakan perwujudan kewenangan Presiden untuk membuat segala macam keputusan untuk menyelenggarakan pemerintahan.[14]

D.    Proses Legislasi
Proses legislasi merupakan perpaduan antara politik hukum  nasional dengan kesadaran hukum masyarakat.[15] Kedua unsur ini mempunyai keterikatan hubungan satu sama lain. Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah legislasi . pembinaan politik harus diselaraskan dengan konstitusi dan karakter masyarakat serta tradisi dan kehidupan keagamaan dalam masyarakat.[16]
Dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia, dalam setiap pembentukan undang-undang harus mendapat persetujuan DPR. Hal ini karena Indonesia adalah negara Hukum yang menghendaki persetujuan rakyat atau wkil-wakil rakyat dalam penetapan undang-undang.[17] Sehingga pembentukan undang-undang merupakan titik temu antara aspirasi rakyat yang memegang kedaulatan melalui Presiden sebagai mandataris dengan aspirasi rakyat yang di perintah melalui wakil-wakilnya di DPR.
Membentuk undang-undang adalah membentuk peraturan yang memiliki jenis, fungsi dan materi yang muatannya dapat menjangkau hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban dasar warga negara pada umumnya. Disamping itu juga untuk mewujudkan aspirasi kedaulatan melalui mandat yang di berikan, sekaligus mewujudkan asas negara berdasar atas hukum yang menjadi asas negara Indonesia.[18]
Suatu norma atau kaidah hukum dapat menjadi suatu undang-undang (dalam arti materiil) jika memenuhi dua unsur, yaitu unsur anording (penetapan peraturan hukum dengan tegas) dan unsur redistaatz (peraturan Hukum).[19] Kedua unsur inilah yang akan menjadi isi undang-undang dan yang menyebabkan ia mempunya kekuatan mengikat. Dalam pembentukannya suatu peraturan perundangan harus mempunyai landasan filosofis,yuridis, dan politis:
a.       Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan yang menjadi dasar dan cita-cita sewaktu menuangkan kebijakan dalam suatu rencana peraturan negara. Dalam konteks Indonesia landasan filosofisnya adalah pancasila.
b.      Landasan yuridis, yaitu ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan. Di Indonesia landasan yuridisnya adalah UUD 1945 yang terbagi dalam:
1)      Landasan yuridis formil, yang memberikn kewenangan kepada instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu .
2)      Landasan yuridis materiil, yaitu landasan yuridis dari segi isi (materi) yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu.
c.       Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjdi dasar selanjutnya dari kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara, yang tertuang dalam GBHN.[20]
Sebagaimana dinyatakan diatas, bahwa suatu RUU bisa berasal dari pemerintah (eksekutif. Prosedur yang harus ditempuh dalam proses legislasinya berbeda. RUU yang berasal dari pemerintah disiapkan oleh masing-masing departemen dan lembaga pemerintah  sepanjang menyangkut tugasnya.rancangan tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden disertai penjelasan materi yang bersangkutan. Jika di setujui maka rancangan tersebut di sampaikan kepada n pimpinan DPR denagn dilampiri amanat Presiden.[21]
            Apabila RUU tersebut berasal dari inisiatif DPR,maka harus disertai dengan memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30 anggota DPR yang berasal dari satu fraksi. Para pengusul dapat mengubah atau menarik kembali RUU tersebut pada setiap tingkat pembicaraan sebelum di setujui menjadi RUU.[22] RUU yang sudah di setujui oleh DPR disampaikan kepada presiden melalui pimpinan DPR untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan dari Presiden merupakan tahap terakhir dari proses pembentukan suatu UU. Selanjutnya UU tersebut diundangkan dalam lembaga negara,yaitu tempat pengundangan peraturan negara agar sah berlaku. Pengundangan dilakukan oleh Sekretaris  Negara sebagai syarat berlakunya suatu Undang-undang.[23]

E.     Contoh Kodifikasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam
            KHI merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang ditulis, disusun dan dikodofikasikan. Ciri khusus dari KHI ini diantaranya adalah di bab 1 setiap buku berisi ketentuan umum yang berisi penjelasan, pengertian, atau definisi dari istilah-istilah yang terdapat dalam pasal-pasalnya. Sehingga jika kita mengacu pada format ini, KHI menyerupai batang tubuh suatu Undang-Undan, karena dalam penerbitannya terbagi dalam buku, bab, bagian, pasal dan ayat.[24]
            Format KHI terbagi dalam tiga buku. Setiap buku terdiri dari beberapa bab, setiap bab terbagi dalam beberapa bagian, setiap bab mengandung beberapa pasal. Pasal-pasal ini memuat ayat-ayat. Buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum Kewarisan, buku III tentang hukum perwakafan.
Secara  sistematis, muatan isi masing-masing buku dapat digambarkan sebagai berikut :

I.       Buku I tentang Hukum Perkawinan. Terdiri dari 19 bab 170 pasal.

Bab I : Ketentuan umum, terdiri dari 1 pasal
Bab II : Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10)
Bab III : Peminangan ( pasal 11-13)
Bab IV : Rukun dan Syarat Perkawinan, terdiri dari 5 bagian. Bagian kesatu tentang Rukun (pasal 14), bagian kedua; calon mempelai (pasal 15-18), bagian ketiga; Wali nikah (pasal 19-23),bagian keempat; Saksi Nikah (24-26), dan bagian kelima,; Akad Nikah (pasal 27-29)
Bab V : Mahar (pasal 30-38)
Bab VI : Larangan Kawin ( pasal 39-44)
Bab VII : Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52)
Bab VIII : Kawin Hamil (pasal 53-54)
Bab IX : Beristri lebih dari satu Orang (pasal 55-59)
 Bab X : Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69)
 Bab XI : Batalnya Perkawinan (pasal 70-76)
 Bab XII : Hak dan Kewajiban Suami Istri, terdiri dari 6 bagian. Bagian kesatu; umum (pasal 77-78), bagian kedua; kedudukan Suami Istri (pasal 79), bagian ketiga; Kewajiban Suami (pasal 80), Bagian Keempat; Tempat Kediaman (pasal 81), Bagian Kelima; Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang (pasal 82), dan bagian keenam; Kewajiban Istri (pasal 83-84)
 Bab XIII : Harta Kekayaan dalam Perkawinan (pasal 85-97)
 Bab XIV : Pemeliharaan Anak (pasal 98-106)
 Bab XV : Perwalian (pasal 107-112)
 Bab XVI : Putusnya Perkawinan, terdiri dari 2 bagian. Bagian kesatu; Umum (pasal 113-128), bagian kedua; Tata Cara Perceraian.(pasal 128-148)
 Bab XVII : Akibat putusnya Perkawinan, terdiri dari 6 bagian. Bagian kesatu; Akibat Talak (pasal 149-152), bagian kedua; Waktu Tunggu (pasal 153-155), bagian ketiga; Akibat Perceraian (pasal 156-157),Bagian keempat; Mut’ah (pasal 158-160), bagian kelima; Akibat Khulu’(pasal 161), bagian keenam; Akibat Li’an (pasal 162)
 Bab XVIII : Rujuk terdiri dari 2 bagian. Bagian kesatu; Umum (pasal 163-166),bagian kedua; Tata Cara Rujuk  (pasal 167-169).
 Bab XIX : Masa Berkabung (pasal 170).

II.   Buku II Tentang Hukum Kewarisan. Terdiri dari 6 bab dan 44 pasal:

Bab I :Ketentuan Umum (pasal 171)
Bab II : Ahli Waris (pasal 172-175)
Bab III : Besarnya Bagian (pasal 176-191)
Bab IV : Aul dan Rad (pasal 192-193)
Bab V : Wasiat (pasal 194-209)
Bab VI : Hibah (pasal 210-214)

III.  Buku III Tentang Hukum Perwakafan. Terdiri dari 5 bab,14 pasal (pasal 215-228) yaitu:

Bab I : Ketentuan Umum (pasal 215)
Bab II : Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-Syarat Wakaf, terdiri dari 3 bagian. Nagian kesatu; Fungsi Wakaf (pasal 216), bagian kedua; Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf  (pasal 217-219),  bagian  ketiga; Kewajiban dan Hak-Hak Nadzir (pasal 220-222)
Bab III : Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf, terdiri dari 2 bagian. Bagian kesatu;Perubahan Benda wakaf  (pasal 223), bagian kedua; Pendaftaran Benda Wakaf (224).
Bab IV : Perubahan, penyelesaian  dan Pengawasan Benda Wakaf, terdiri dari 3 bagian, bagian kesatu; Perubahan Benda Wakaf (pasal 225), bagian kedua; Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf (pasal 226), bagian ketiga; Pengawasan (pasal 227).
Bab V : Ketentuan peralihan (pasal 228)

Pasal terakhir (pasal 229) berisi  ketentuan penutup yang menjelaskan petunjuk bagi hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Perkembangan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia


Ada tiga periode perkembangan pembaharuan hukum islam di indonesia yaitu

1.      Periode awal-1945,

2.      Periode 1945-1985,dan
3.      Periode 1985-sekarang

Periode pertama, hukum islam mengalami pergeseran dalam kedudukannya dalam sistem hukum yang berlaku periode kedua, terjadi pergeseran dalam bentuk hukum yang tertulis. Sementara itu, periode ketiga terjadi perubahan menuju ke periode taqnin, kompilasi hukum islam sebagai embrionya. Untuk mengetahui perkembanagan tiap periode akan di bahas berikut ini.

A.    Periode Awal – 1945 : Pergeseran dalam hukum yang berlaku
Meskipun pendudukan jepan memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka islam indonesia, namun pada akhirnya mereka mengubah arah kebijakan dan membukakan jalan untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan dan kepada para tokoh nasionalis indonesia. Dalam hal ini tampaknya jepan lebih mempercayai golongan tersebut untuk memimpin Indonesia dimasa depan. Tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti dewan penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945 komite yang terdiri atas 62 orang ini, hanya 11 orang di antaranya mewakili kelompok islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan, “BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hata berusaha agar anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalan masyarakat indoneisa.”
Perdebatan panjang tentang dasar negara diBPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan piagam jakarta. Kalimat kompromistis yang paling penting dalam piagam jakarta terdapat pada kalimat negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk pemeluknya. Menurut Mohammad Yamin, kalimat ini menjadikan indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara islam.
Dengan rumusan semacam ini, lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undag-undang untuk melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya. Akan tetapi, rumusan hukum kompromistis piagam jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Namun, semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan kristen di Indonesia. Hatta mengatakan bahwa Ia mendapat informasi tersebut dari seseoran opsir agkatan laut jepang. Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945.
Namun, Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir Al-Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhar yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhar bersama dengan Maramis, seorang tokoh islam dari Indonesia timur lainya, telah menyetujui rumusan, kompromistis itu saat itu sidang BPUPKI.
Hukum islam di indonesia merupakan gabungan 3 hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Kedudukannya disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan. Hukum islam masuk di indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam. Kerajaan kerajaan islam yang berdiri melaksanakan hukum islam di wilayahnya masing-masing. Kerajaan-kerajaan itu, misalnya samudra pasai di Aceh Utara pada akhir abad XIII; diikuti di antara Demak, Jepara, Tuban dan Gresik.
Pada zaman VOC , kedudukan hukum islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dkenal dengan Campedium Freijer. Demikian juga telah dikumpulakan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di daerah Cirebon, Semarang dan Makasar.
Pada massa penjajahan belanda mula-mula hukum islam bertumpu pada Sholten van Haarlem diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda secara tertulis dengan istilah godsdien wetten terlihat pada Pasal 75 (lama Regeering Reglemen )tahun 1985. Peradilan yang diperuntukan bagi mereka yang telah ditentukan, yaitu Pristerad (peradilan agama, Stbl.1882,No.152jo1937No.116 dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; Stbl. 1937N0. 638dan 639 untuk Kalimantan selatan dan timur.) kemudian setelah merdeka, pengadilan agama atau Mahkamah syariah (PPNo.45/1957 untuk daerah luar Jawa, Madura dan Kalimantan selatan dan timur).
Meskipun pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1937 mengeluaran sidang kewarisan dan kewenangan pengadilan agama di jawa dan madura dengan dikeluarkan stbl.1937No.116, namun secara de fakto hukum islam masih tetap manjadi pilihan umat islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan masalah kewarisan mereka melalui pengadilan agama. Namun demikian, terjaminnya kedudukan hukum islam dalam negara RI sebagai negara hukum berdasarkan pancasila UUD 1945 tidakkah otomatis memeberikan bentuk kepada hukum islam sebagaimana hukum tertulis.



B.     Peiode-Periode 1945-1985: Bagi Pergeseran Bentuk Hukum Tertulis
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H Muhammad Dahlan seorang menteri agama dari kalangan muhamadiyah yang mencontohkan menunjukan rancangan Undang-Undang Perkawinan umat islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal, upacara ini kemudian dilanjutkan dengan menganjurkan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di indoneisa pad a tahun 1970. Upacara ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan perlindungan yang berlindung pada Mahkamah agung melelui UU ini, menuruti Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Pemerintah RI mengungkapakan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku tidak tertulis dan terserak di beberapa kitab yang menjadi perbedaan antara islam dan Undang-undang No.21 tahun1945 dan No.23 tahun 1954 di maksud untuk memenuhi kebutuahan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah telah, talak dan rujuk yang masih diatur dalam beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan negara RI sebagai negara kesatuan. Peraturan-peraturan tersebut ialah Huwellijkordonnantie S.1928 No.348jo S.1933No.98 dan Huwellijkordonnantie Buitengewesten S.1932 No.482.
Pada saat itu terjadi pergeseran beberapa bagian hukum islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan UU No.42 tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu hukuman perkawinan, talak, dan rujuk bagi umat islam sedang dikerjakan oleh Penyidik Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk yang dipunyai oleh Mr.Teuku Mohammad Hasan.
Hal ini sesuai dengan surat edaran di biro peradilan agama (mahkamah syariah) di luar Jawa dan Madura. Pada huruf b di surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan pekerjaan maka para hakim pengadilan agama di anjurkan memepergunakan pedoman 13 kitab, yaitu Al-Bajuri, Fath Al-Mu’in, Syarqawi’ala Al-Tahrir, Qulyubi (Mahalli), Fath Al-Wahhab, Tuhfah, Targhib Al-Musytaq, Qawwanin Syar’iyyah li Al-Sayyid bin Yahya, Qawanin Syar’iyyah li Al-Sayyid Shadaqah Dahlan, Syamsuri fi Al-Fara’idh, Bughyah Al-Mustarsyidin, Al-Fiqh’ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-muhtaj. Dengan menunjuk 13 kitab tersebut, langkah menuju kepastian hukum semakin nyata.
Lahirnya UU No.1 tahun 1974 perkawinan dan PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik merupakan pergeseran bagian-bagian dari hukum islam ke arah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian lain dianataranya tentang perkawinan dan kewarisan wakaf menjadi kewenagan peradilan agama masih berdiri diluar hukum tertulis.
Dalam rangka mencapai keseragaman tindak antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan badan peradilan agama sebagai salah satu langkah menunju terlaksanya UU No.14 tahun 1970 tentang Kesatuan-Kesatuan Pokok Kekeuasaan kehakiman. Di samping itu, untuk menghidari perbedaan penafsiran dalam melaksanakan UUD Perkawinan No.1 Tahun 1974, pada tanggal 1 September 1976 tentang di bentuk panetia kerja yang di sebut PANKER MAHAGAM ( Panitia Kerjasama Mahkamah Agung Departemen Agama).
Setelah adanya kerjasama dengan Mahkamah agung maka kegiatan Departemen Agama dalam mewujukkan agama dalam mewujudkan kesatuan hukum serta berbentuk hukum tertulis bagi hukum islam yang sdah berlaku dalam masyarakat dan sebagian lain masih merupakan hukum tidak tertulis ; menampilkan dari dalam rangkaian seminar, simposium, lokakarya serta penyesuaian kompilsa hukum islam bidang hukum tertentu kegiatan-kegiatan tersebut antara lain sebagai lain berikut.
1.      Penyesuaian buku Himpunan dan Putusan Peradilan Agama 1976.
2.      Lokakarya tentang pengacara pada pengadilan agama, 1977.
3.      Seminar tentang hukum waris islam, 1978.
4.      Seminar tentang pelaksanaan uu Perkawinan, 1979
5.      Simposium beberapa bidang hukum islam, 1982.
6.      Simposium sejarah peradilan Agama, 1982.
7.      Penyusunan Himpunan Nash dan Hujah syariah, 1983.
8.      Penyusunan kompilasi peraturan perundang-undangan peradilan agama, 1981.
9.      Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama I, 1984.
10.  Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama II, 1985
11.  Penyusunan kompilasi hukumacara peradilan agama III, 1986.
12.  Penyusunan kompilasi hukum NTCR I dan II , 1985.
Dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah diikutsertakan ahli dan beberapa kalangan hukum terkait, seperti hakim, pengacara, notaris, kalangan perguruan tinggi, Departemen Kehakiman, IAIN, ulama, para tokoh masyarakat, dan para tokoh terkemuka.


C.     Periode 1985-sekarang : menuju periode taqnin
Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama RI tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum islam melalui yurisprudensi no.07/KMA/1985 dan no.25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.

1.      Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hikum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial peradilan agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan peradilan dilakukan oleh departemen masing-masing; sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama baru pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB ketua mahkamah agung dan menteri agama RI No. 01,02,03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1,2,3, dan 4 tahun 1983. Keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang–Undang tentang susunan, kekuasaan, dan acara pada peradilan agama yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan peradilan agama yang pada saat itu masih dalam proses penyusunan yang intensif.
Selama pembinaan teknis, yusdisial peradilan beragama oleh mahkamah agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain tentang hukum islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan adanya suatu hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama yang dapat diadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.

2.      Realisai Kompilasi Hukum Islam
a.      Proses Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Proyek yang ditunjuk SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun1985 tanggal 25 Maret 1985. Dalam SKB tersebut, ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk beserta jabatannya masing – masing dalam proyek. Pimpinan umumdipegang oleh Prof. H. Bustanil Arifin, Ketua Muda MA RI urusan lingkungan peradilan agama;dan H. Zaini Dhlan, M. A. Sebagai wakilnya.
            Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usahan pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya adalah mengkaji kitab- kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan –putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
            Untuk meyelenggarakan tugas pokok tersebut, proyek pembangunan hukum Islam dilakukan dengan cara pengumpulan data, wawancara lokakarya, dan studi banding.

b.      Pelaksanaan Proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur penelitian kitab, pengolahan data hasil penelitian, lokakarya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991. Berikut ini penjelasannya.
1.      Jalur Penelitian Kitab
Pokok hukum yang diteliti sebanyak 160 masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab dan dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia mulai 7 Maret sampai 21 Juni 1985. Tidak hanya itu, metode lain yang ditempuh adalah sebagai  berikut.
a)      Wawancara dilakukan terhadap para ulama di 10 lokasi pengadilan tinggi agama di berbagai daerah, mulai dari Aceh sampai Mataram.
b)      Penelitian Yurispruudensi dilaksanakan oleh Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama yang telah dihimpun dalam 16 buku.5
c)      Studi perbandingan dilakukan di berbagai negara di Timur Tengah seperti Maroko, Turki, dan Mesir.
2.      Pengolahan Data Hasil Penelitian
Hasil penelaahan kitab, wawancara, penelitian yurisprudensi, dan studi banding diolah oleh Tim Besar. Setelah itu, dibahas dan diolah oleh Tim Kecil, seperti Prof. H. Bustanil Arifin; Prof. H. M. D. Kholid,S.H.,; H. Masrani Basran, S.H.,; M. Yahwa Harahap, S.H.,; H. Zaini Dahlan, M.A.; dan H. A. Wasit Aulawi, M.A.
Tim Kecil selanjutnya menghsilkan tiga buku naskah rancangan hukum Islam, yaitu :
a)      Buku pertama tentang perkawinan
b)      Buku kedua tentang kewarisan
c)      Buku ketiga tentang perwakafan
Rancangan  Kompilasi Hukum Islam ini selesai disusun dalam kurun waktu dua tahun sembilan bulan setelah mengadakan rapat sebanyak dua puluh kali. Untuk itu pada tanggal 29 Desember 1987, Rancangan Kompilasi Hukum Islam secara resmi diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI.
3.      Lokakarya
Pada upacara penyerahan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam, dilakukan penandatanganan SKB oleh Ketua Mahkamah Agung, H. Ali Said, S.H. dan Menteri Agama,  H. Munawir Syadzali, M.A. tentang pelaksanaan lokakarya. Lokakarya dilakukan pada tanggal 2-6 Februari 1988 untuk mendengarkan komentar akhir para ulama dan sendekiawan muslim. Mereka yang hadir sebanyak 126 orang dari daerah penelitian dan wawancara.6
4.      Inpres No. 1 Tahun 1991
Setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam mengalami penghalusan redaksi oleh Tim Besar, selanjutnya disampaikan kepada Presiden RI oelh Menteri Agama dengan surat tanggal 14 Maret 1988 No. MA/123/1988 agar memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di lingkungan peradilan agama.
Selanjutnya, lahirlah Inpres No. 1 Tahun 1991 yang di dalam diktumnya menyatakan, “Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdirii atas tiga buku untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.”
Untuk melaksanakan instruksi tersebut, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 kepada seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah terkait agar menyebarluaskan dan menggunakannya dalam masalah keluarga. Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji, mengoordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri Agama RI dalam bidangnya masing – masing.
Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut, Kompilasi Hukum Islam telah mendapatkan pengesahan untuk dipergunakan sebagai pedoman, baik tugasnya sehari-hari maupun masyarakat yang memerlukannya.







[1] Faried Ali,Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,(jakarta:Raja Grafindo Persada,1996)Hlm.140
[2] Pada dasarnya UU dan Perpu mempunyai kedudukan dan derajat yang sama. Hanya saja Perpu ditetapkan dalam keadaan genting atau darurat.lihat pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
[3] Prosedurnya diatur dengan Inpres RI no. 15 tahun 1970 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU dan PP.
[4] Soehino,Hukum Tata Negara,Teknik Perundang-undangan (Yogyakarta:Liberty,1996),Hlm.13
[5] Tata Cara pengusulannya diatur dalam pasal 99-103 Peraturan Tata Tertib DPR-RI (keputusan DPR no. 7/DPR RI/III/71-72 tanggal 8 januari 1972)
[6] Di Indonesia berlaku pembagian kekuasaan (ditribution of power) bukan pemisahan, sehingga masing-masing kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) masih berhubungan satu sama lain. Lihat Inu Kencana Syafi’ie, Sistem Pemerintahan Indonesia (jakarta :Rineka Cipta, 1994) Hlm.54
[7] Syafi’ie, Sistem Pemerintahan,Hlm. 55
[8] BN.Marbun,DPR RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992)Hlm.190-191.
[9] Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan : “jika rancangan itu meskipun tidak di setuji ole DPR, tidak disahkan oleh Presiden maka rancangan itu tidak boleh di ajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.”
[10] Mengenai pengertian darurat tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya. Cukup kiranya dengan keyakinan Presiden keadaadn yang mendesak dan memerlukan peraturan perundangan yang berderajat UU. Lihat Soehino,hukumTata Negara.Hlm.21
[11] CST.Kansil, Haluan Politik Negara Indonesia,Pembahasan Ketetapan MPR.1968-1983,(Jakarta :Erlangga, 1987)Hlm.17
[12]Bagir Manan dan Kuntana Magnar,Beberapa Masalah Hukum Ketatanegaraan Indonesia. (Bandung : Alumni, 1993) Hlm. 67
[13] Padmo Wahyono,beberapa masalah ketatanegaraan di Indosesia,(Jakarta :Rajawali Pers,1984)hlm.7
[14] Sukarno , pembangunan politik,(bandung: Mandar Maju.1990)Hlm.7

[16] A.hamid S. Attamimi,”kedudukan dan peranan Presiden dalam fungsi legislatif Menurut Sistem Politik Demokrasi Pancasila”. Dalam Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia.(Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995) Hlm.25
[17] Ibid, Hlm.31
[18] Faried,Ali. Hukum Tata Pemerintahan.Hlm.180                                      
[19] M. Solly Lubis, landasan dan tekhnik Perundang-undangan (Bandung: Mandar Maju, 1995) Hlm 6-7
[20] Tidak semua Tap MPR di atur dalam UU, hanya Tap MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif. Untuk Tap MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif diatur dengan Kepres. Lihat Kansil,Haluan Politik,Hlm.15
[21] Moh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, susunan Pembagian Kekuasaan menurut UUD 1945 (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1994) Hlm.129
[22] Ibid, Hlm. 130
[23] Kansil,Haluan Politik.Hlm 16
[24] Bentuk luar suatu UU atau Perpu terdiri atas :1). Bagian penamaan yang berisi uraian singkat tentang isi peraturan perundangan yang didahului dengan keterangan tentang jenis, kode nomor dan tahun pembentukan peraturan perundangan yang bersangkutan. 2). Pembukaan, berisi latar beelakang serta dasar hukum dibentuknya suatu Perpu (termasuk didalamnya konsideran), 3). Batang tubuh berisi bagian-bagian, bab, pasal dan seterusnya, 4). Penutup, memuat perintah perundangan, pengesahan dan penetapan. Lihat Soehino, Hukum tata negara, Hlm .83-100

KESIMPULAN

  • Kodifiakasi artinya pembukuan, yaitu pembukuan suatu aturan kedalam satu kitab hukum atau perundang-undangan dan Legislasi atau perundangan diartikan sebagai prosedur yang harus dilalui oleh suatu peraturan atau sistem hukum yang akan di berlakukan dan mempunyai kekuatan mengikat umum.  
  • KHI ( Kompilasi Hukum Islam) merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang ditulis, disusun dan dikodofikasikan.

·         Ada tiga periode perkembangan pembaharuan hukum islam di indonesia yaitu
1.      Periode awal-1945,
Periode pertama, hukum islam mengalami pergeseran dalam kedudukannya dalam sistem hukum yang berlaku.
2.      Periode 1945-1985,
Periode kedua, terjadi pergeseran dalam bentuk hukum yang tertulis.
3.      Periode 1985-sekarang
Periode ketiga, terjadi perubahan menuju ke periode taqnin, kompilasi hukum islam sebagai embrionya.






































0 komentar:

Posting Komentar