BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan
dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk,
hukum Islam pun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma
atau kaidah dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu
mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial
inilah hokum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia
berlangsung secar bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami
pentahapan. Di sisi lain setiap masyarakat pada umumnyasudah memiliki aturan
atau adat istiadat sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara
hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam
di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam juga
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha
menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Segala kebijakan,
terutama di bidang politik dan hukum, dibuat untuk mengebiri keberadaan hukum
Islam. Di bidang politik misalnya, Belanda menjalankan kristeningpolitiek, yaitu upaya mendukung misi zending dan
penyebaran agama Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum,
pemerintah Belanda berusaha mengkonfrontir hokum Islam dengan hokum adat dan
mereduksi dalam pemberlakuannya.
Kedudukan hukum Islam di dalam tata hukum di Indonesia
mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem yang berlaku,
tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem
hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum di
Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan
dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada
masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional banyak peraturan
perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang
berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan
hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah
di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia?
2. Apa
saja teori-teori hukum islam yang berlaku di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sejarah perkembangan hukum islam di
Indonesia, apabila dianut dari mulai masuknya agama islam hingga era reformasi
dapat dibagi dalam empat tahap. Pembagian kedalam empat periode ini didasarkan
pada corak, karakter, dan bentuk implementasi dalam realitas hukum yang
berlaku. Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa serta keinginan umat islam
menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum islam yang berlaku. Kedua
faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum islam dalam
sejarah perkembangannya di Indoneisa. Keempat tahapan tersebut sebagai berikut
:
1.
Masa kerajaan Islam
(Abad XII – XVIII M)
Fase
ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya islam ke Indonesia hingga masa
kolonial Belanda. Berdasarkan data sejarah, islam mulai menampakkan pengaruhnya
sekitar abad XII hingga XIII. Masa ini disebut dengan fase akulturasi, karena
pada masa ini hukum islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara.
Secara sosiokultural, hukum islam telah menyatu dan menjadi ruang hukum dalam
masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari akluturasi yang terjadi
antara islam, sebagai agama, dengan budaya lokal. Di beberapa daerah seperti
Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum islam diterima tanpa
perlawanan sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya
pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mengata adat
memakai. Ungkapan ini menggambarkan kentalnya hubungan anatara hukum islam
dengan hukum adat.
Catatan
sejarah tentang berlakunya hukum islam pada masa ini tidak banyak diketahui.
Hanya ada beberapa naskah, khususnya naskah jawa, yang dapat digunakan untuk
mengungkap bagaimana pemberlakuan hukum islam di masyarakat. Di jawa, cirinya
dalam gelar raja mataram yaitu : ingkang sinuhun (yang dipertuan), senopati ing
ngalogo ( panglima perang) sayidin panotogomo kalipatullah ( pengatur urusan
agama sebagai pengganti rasulullah).
Pengaruh
terkuatnya islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum
keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemiliharaan dan penyelesaian hukum ini
ditugaskan kepada hakim, dan penghulu dengan para pegawainya. Para hakim
diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya disebut dengan peradilan
swapraja. Ditingkat terendah (pemerintahan desa) jabatan dipegang oleh modin,
labai, amil, kayim, kaum, dan merbot.
Kalau dijawa disebut kaum, maka di Makassar disebut para mukim,
disumatera dikenal dengan tauku meunasah, labia, malin, dan sebagainya.
Kerajaan
– kerajaan islam di nusantara, sebelum kedatangan VOC telah memberlakukan hukum
islam yang pada umumnya menganut mazhab syafi’i. kerajaan tersebut yaitu
kerajaan samudera pasai, kesultanan demak, kesultanan mataram, kesultanan
Cirebon, banten, ternate, buton, Sumbawa, Kalimantan selatan, kutai, Pontianak,
dan Palembang. Kerajaan islam tersebut memberikan wewenang penegakan hukum
islam pada kekuasaan pengadilan. Lembaga pengadilan ini dirikan dengan tujuan
penegakan hukum islam dan sebagai wadah pelayanan ulama terhadap umat.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah
telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan
kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan
utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk
masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas
muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam
pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak
di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar
dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh
dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan
demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada
kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum
islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan
Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum islam telah ada di Indonesia
sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya
literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16
dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu memposisikan hukum islam sebagi hukum
Negara.
Hukum Islam di
berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk
menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan
bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam
dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat
di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki tempat yang terhormat yang kemudian di kenal dengan
sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan
perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan)
di selesaikan di manjid.
Secara yuridis
raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam
konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan
dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang
tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di
tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan
pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I,
Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat
ini. Sistem hukum islam terus
berjalan bersamaan dengan sistem hukum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang
dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari
Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara hukum Islam
dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan
sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah
ibadah.
Hukum Islam
juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam
nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan
belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
Islam menjadi
pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan
dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan
patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam dalam berbagai dimensi
kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik
bahkan sampai misi kristenis.
2. Masa Kolonial (
Abad XVIII-pertengahan abad
Fase ini berlangsung sejak Belanda
secara de facto menancapkan kolonialismenya di Indonesia. Pada awal
kedatangan bangsa Eropa, yaitu abad 17, mereka berkepentingan mengembangkan
usaha perdagangan. Dari niat berdagang lambat laun muncul keinginan untuk
menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah.
Bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Portugis, Belanda,
Inggris dan Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan
pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk
dalam hukum islam.
Sejarah perkembangan hukum islam pada masa kolonial terbagi dalam dua
periode, yaitu periode in complexu dan periode receptie. Periode pertama
terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan
Belanda. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya
bagi orang Islam. Misalnya hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut
perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya. Hukum keluarga islam, terutama yang
menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.
Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670
Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang
berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi
pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang
Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan
legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen
Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa
Kuno. Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan
pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan
Bone dan Goa untuk dijadikan undang-udang.
Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak lepas dari peran ahli hukum Belanda,
khususnya yang menulis tenang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W. van
Nes, A. Meurenge,dan Lodewijk Willem Christian van den Berg yang merupakan ahli
hukum yang paling baerjasa dalam hal ini dengan teorinya yang bernama receptio
in complexu. Dian juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi
ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah hukum Islam. Peraturan
lain yang menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam adalah
Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie ( RR ) yang
menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan hukum agama dan
kebiasaan penduduk Indonesia.
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang bersifat
intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi
dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini di mulai ketika
terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda.
Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan cara
mengonfrontasikannya dengan hukum adat. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah
Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada
masa ini muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran system hukum Islam
adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi
penghulu sebagai penasehat hukum dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda
mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan
Madura. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para
ulama. Berdirinya lembaga ini menjukkan
adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam.
Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa setiap keputusan
harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm diimplementasikan. Hal ini
jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari
penghulu sering dikesampingkan. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam
dengan pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk
Kantor Urusan Pribumi yang diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian
antarapenjajah dengan masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje (
1867-1936 ). Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah
Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan
penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah
yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi
perluasan control politik islam. Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila
diterima atau dikehendaki oleh hukum adat.
Upaya mengontrol operasionalisasi
hukum Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang
perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di
bawah kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan
mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1)
priesterred akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, (2)
penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3)
pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari
pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilakanakan karena
Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada
tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof voor Islamietische
Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima perkara banding. Melalui Stlb. No.
116 tahun 1937,pemerintah memindahkan penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan
Islam ke peradilan umum, dimana perkara tersebut diselesaikand dengan hukm
adat. Alasannya hukm Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini
terjadi perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda
dengan hukum Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam
banyak ditulis dalam buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik hukum yang
menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda
untuk meneguhkan kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk
menguatkan posisi hukum adar dan melemahkan hukum Islam di Indinesia.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap peradilan hukum
Islam dan hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga
peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding
dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa dan Madura,
lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang
memberi nasehat dalam
bidang kewarisan.
3.
Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di
Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap
pemberlakuan hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami
kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim,
tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan
tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi
dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua
periode, yaitu periode persuasive-source
dan authoritative-source. Periode persuasive
adalah periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah
sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD 1945,
sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source
UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun
hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan pasal
29 ayat (1) dan (2).
Periode
kedua, authoritative-source dimulai
ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam
konsiderans dekrit presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam
Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar hukum piagam
Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit
Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan
hukum yang sama.
Ketentuan
di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam
ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan
hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor
agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No.
11/MPRS/1960 tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan
dan kewarisan.
Memasuki
orde baru, pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam
bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan
haluan pembangunan nasional, menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia.
Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta
mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat
ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk
hukum islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya
formatisasi hukum islam dalam hukum nasional.
Formatisasi hukum islam dilakukan
dengan upaya mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan. Dalam
peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam semakin jelas. Dari sinilah
kemudian muncul legislasi hukum islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.
1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti
terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum
yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga
menempati posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan
Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di
Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan
tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan
demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang
dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin
jelas dengan ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama.
Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan
bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan
agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan
bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang hukum keluarga (ahwal
al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka
diperlukan hukum materil sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam
menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim peradilan Agama
menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang
digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak
sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang
sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas,
dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal
21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan pelaksanaan
pengembangan hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur fikih,
wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya
mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang
digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan
masyarakat Indonesia menuju hukum nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga
buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum
kewarisan dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Pemberlakuan hukum islam semakin
menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan
memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat
dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul
perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti
UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas,
formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang
berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja.
Hukum islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang
perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang
Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang
berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
4. Masa Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika
masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan
hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada masa ini mengalami
kemajuan. Secara fakta, hukum islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan
sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum
privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi
oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi
daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah
daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi daerah.
Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya
bagi perkembangan hukum islam adalah banyak daerah menerapkan hukum islam.
Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di berbagai wilayah Indonesia
dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan
sebagian. Penegakan hukum islam sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe
Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya
menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya.
Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang
sudah membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten
Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at
Islam (LP3SyI).
Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam
di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal,
diantaranya ialah:
1. Penerapan syari’at islam
diseluruh aspek kehidupan beragama,
2.
Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan
kurikulum umum.
3. Pemasukan unsur adat dalam sistem
pemerintah desa, dan
4.
Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak
lanjut dari Undang-undang di atas adalah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam. Fenomena pelaksanaan hukum
islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda
dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah perda-perda
bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah
tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman,
Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember,
Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi
perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut
masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum
dalam perda-perda syari’at, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan,
pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana muslimah, pelarangan
peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
B.
TEORI-TEORI MASUKNYA ISLAM DI
INDONESIA
Proses masuknya agama Islam ke
Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan
berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan, teoriteori
tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
1.
Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya
Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung
pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini
adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA,
salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab.
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah
sumber local Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan
orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai ekonomi, melainkan didorong oleh
motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur
perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh
masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori
Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka
penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis
Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan
keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka
dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu
agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam
dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang
diungkapkan oleh A.H. Johns yang
mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan
islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
2.
Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke
Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini
terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang
menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana
pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19.
Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan
Malebar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam
ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan
pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur,
termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan
disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di
kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orangorang Gujarat telah lebih awal
membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam
pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya.
Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan
gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang
memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah
831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan
Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang
sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya
berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya
dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi
khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut
masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia
3. Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke
Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari
teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat,
sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein
lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda)
diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya
antara ajaran Syekh Siti Jenar dari
Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya
mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai
bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas
politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan
teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan
yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa
umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di
Iran.
4. Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia
(khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah
berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di
Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur
dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam
telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat
dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat
diterima.
Bahkan menurut sejumlah sumber lokal tersebut ditulis bahwa raja
Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan
keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan
(sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin,
nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan
istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta
“Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata
lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai
arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat,
terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti
Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para
pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan
kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam
masing-masing teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang
dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok
tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Periode perkembangan hukum islam di
Indonesia terdiri dari masa kerajaan Islam abad XII-XVIII M, masa kolonial abad
XVIII- pertengahan abad XX, masa kemerdekaan (1945-1998) dan masa reformasi
(1998- sekarang). Dengan melalui empat tahap ini, menjadi suatu masa
perkembangan hukum – hukum islam yang berada di Indonesia.
Teori-teori hukum islam yang berlaku
di Indonesia yaitu, teori Mekah yang mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke
Indonesia langsung dari Mekah atau Arab, teori Gujarat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia
berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M, teori Persia mengatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari daerah Persia yang kini menjadi
Iran dan teori Cina mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia (khususnya di
Jawa) berasal dari para perantau Cina.
Daftar Pustaka
Sodiqin, Ali. 2012. fiqh ushul fiqh: sejarah, metodelogi dan implementasi di Indonesia.
Yogyakarta: penerbit beranda publishing,
Ramulyo, Idris. 1993. azas-azas
Hukum Islam: sejarah timbul dan berkembangnya, Jakarta: raja grafindo
persada
Lukito, Ratno. 1998.Pergumulan
antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri XXXV, Jakarta : INIS
Supriyatna, dkk. 1991. Perkembangan
berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN
Sunan Kailjaga
Abdullah (ed), Taufiq. 1987. Sejarah
dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus
1 komentar:
syukron...sangat bermanfaat makalahnya
Posting Komentar