Selasa, 15 Maret 2016

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islam pun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma atau kaidah dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial inilah hokum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam  masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secar bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan. Di sisi lain setiap masyarakat pada umumnyasudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Segala kebijakan, terutama di bidang politik dan hukum, dibuat untuk mengebiri keberadaan hukum Islam. Di bidang politik misalnya, Belanda menjalankan kristeningpolitiek, yaitu upaya mendukung misi zending dan penyebaran agama Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum, pemerintah Belanda berusaha mengkonfrontir hokum Islam dengan hokum adat dan mereduksi dalam pemberlakuannya. 
Kedudukan hukum  Islam di dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem yang berlaku, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam  


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia?
2.      Apa saja teori-teori hukum islam yang berlaku di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia, apabila dianut dari mulai masuknya agama islam hingga era reformasi dapat dibagi dalam empat tahap. Pembagian kedalam empat periode ini didasarkan pada corak, karakter, dan bentuk implementasi dalam realitas hukum yang berlaku. Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa serta keinginan umat islam menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum islam yang berlaku. Kedua faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum islam dalam sejarah perkembangannya di Indoneisa. Keempat tahapan tersebut sebagai berikut :
1.      Masa kerajaan Islam (Abad XII – XVIII M)
Fase ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya islam ke Indonesia hingga masa kolonial Belanda. Berdasarkan data sejarah, islam mulai menampakkan pengaruhnya sekitar abad XII hingga XIII. Masa ini disebut dengan fase akulturasi, karena pada masa ini hukum islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara. Secara sosiokultural, hukum islam telah menyatu dan menjadi ruang hukum dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari akluturasi yang terjadi antara islam, sebagai agama, dengan budaya lokal. Di beberapa daerah seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum islam diterima tanpa perlawanan sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mengata adat memakai. Ungkapan ini menggambarkan kentalnya hubungan anatara hukum islam dengan hukum adat.
Catatan sejarah tentang berlakunya hukum islam pada masa ini tidak banyak diketahui. Hanya ada beberapa naskah, khususnya naskah jawa, yang dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana pemberlakuan hukum islam di masyarakat. Di jawa, cirinya dalam gelar raja mataram yaitu : ingkang sinuhun (yang dipertuan), senopati ing ngalogo ( panglima perang) sayidin panotogomo kalipatullah ( pengatur urusan agama sebagai pengganti rasulullah).
Pengaruh terkuatnya islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemiliharaan dan penyelesaian hukum ini ditugaskan kepada hakim, dan penghulu dengan para pegawainya. Para hakim diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya disebut dengan peradilan swapraja. Ditingkat terendah (pemerintahan desa) jabatan dipegang oleh modin, labai, amil, kayim, kaum, dan merbot.  Kalau dijawa disebut kaum, maka di Makassar disebut para mukim, disumatera dikenal dengan tauku meunasah, labia, malin, dan sebagainya.
Kerajaan – kerajaan islam di nusantara, sebelum kedatangan VOC telah memberlakukan hukum islam yang pada umumnya menganut mazhab syafi’i. kerajaan tersebut yaitu kerajaan samudera pasai, kesultanan demak, kesultanan mataram, kesultanan Cirebon, banten, ternate, buton, Sumbawa, Kalimantan selatan, kutai, Pontianak, dan Palembang. Kerajaan islam tersebut memberikan wewenang penegakan hukum islam pada kekuasaan pengadilan. Lembaga pengadilan ini dirikan dengan tujuan penegakan hukum islam dan sebagai wadah pelayanan ulama terhadap umat.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kes­­­­ulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu memposisikan hukum islam sebagi hukum Negara.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki tempat yang terhormat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hukum islam terus berjalan bersamaan dengan sistem hukum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenis.
2.      Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad
Fase ini berlangsung sejak Belanda secara de facto menancapkan kolonialismenya di Indonesia. Pada awal kedatangan bangsa Eropa, yaitu abad 17, mereka berkepentingan mengembangkan usaha perdagangan. Dari niat berdagang lambat laun muncul keinginan untuk menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah.
Bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum islam.
Sejarah perkembangan hukum islam pada masa kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu dan periode receptie. Periode pertama terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan Belanda. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya. Hukum keluarga islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.
 Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-udang.
Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak lepas dari peran ahli hukum Belanda, khususnya yang menulis tenang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W. van Nes, A. Meurenge,dan Lodewijk Willem Christian van den Berg yang merupakan ahli hukum yang paling baerjasa dalam hal ini dengan teorinya yang bernama receptio in complexu. Dian juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah hukum Islam. Peraturan lain yang menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam adalah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie ( RR ) yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan hukum agama dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan hukum adat. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran system hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama.  Berdirinya lembaga ini menjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam.
Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa setiap keputusan harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi yang diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antarapenjajah dengan masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan control politik islam. Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat.
Upaya mengontrol  operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilakanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima perkara banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana perkara tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk menguatkan posisi hukum adar dan melemahkan hukum Islam di Indinesia.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap peradilan hukum Islam dan hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang memberi nasehat dalam bidang kewarisan.  
3.      Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-source dan authoritative-source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional, menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum islam dalam hukum nasional.
Formatisasi hukum islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum islam yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materil sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan pelaksanaan pengembangan hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Pemberlakuan hukum islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja. Hukum islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
4.      Masa Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara fakta, hukum islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam adalah banyak daerah menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
1. Penerapan syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
2. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.
3. Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
4. Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas adalah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam. Fenomena pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
  
B.     TEORI-TEORI MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan, teoriteori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
1.      Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab.
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber local Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

2.      Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malebar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orangorang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia
3.      Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.
4.      Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat diterima.
Bahkan menurut sejumlah sumber lokal tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.

Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan

 

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Periode perkembangan hukum islam di Indonesia terdiri dari masa kerajaan Islam abad XII-XVIII M, masa kolonial abad XVIII- pertengahan abad XX, masa kemerdekaan (1945-1998) dan masa reformasi (1998- sekarang). Dengan melalui empat tahap ini, menjadi suatu masa perkembangan hukum – hukum islam yang berada di Indonesia.
Teori-teori hukum islam yang berlaku di Indonesia yaitu, teori Mekah yang mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia langsung dari Mekah atau Arab, teori Gujarat  mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M, teori Persia mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari daerah Persia yang kini menjadi Iran dan teori Cina mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. 


Daftar Pustaka
Sodiqin, Ali. 2012. fiqh ushul fiqh: sejarah, metodelogi dan implementasi di Indonesia. Yogyakarta: penerbit beranda publishing,
Ramulyo, Idris. 1993. azas-azas Hukum Islam: sejarah timbul dan berkembangnya, Jakarta: raja grafindo persada
Lukito, Ratno. 1998.Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri XXXV, Jakarta : INIS
Supriyatna, dkk. 1991. Perkembangan berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kailjaga
Abdullah (ed), Taufiq. 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta:        Pustaka Firdaus




1 komentar:

Tawil mengatakan...

syukron...sangat bermanfaat makalahnya

Posting Komentar