Rabu, 02 Maret 2016

PERKEMBANGAN ILMU MENURUT POSITIVISME



A.      Pengertian Positivisme
Positivisme secara etimologi berasal dari kata “positive” yang dalam bahasa filsafat artinya suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Sehingga, yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan atau kreasi pemikiran dari akal manusia.
Sedangkan secara terminologis, positivisme merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenaran”-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi dan membatasi pikiran dalam segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Sehingga, hal-hal di luar itu tidak dikaji dalam positivisme
Paham positivisme didasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat dan menolak adanya spekulasi teoritis sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya positivisme meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang berasal dari pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, sehingga spekulasi metafisif dihindari.Penganut positivisme meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Mereka memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika.
Positivisme merupakan empirisme, yang pada segi-segi tertentu menjadi kesimpulan logis ekstrim karena apa saja dianggap sebagai pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengetahuan.
Keyakinan dasar paham ini berasal dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dalam hukum alam (natural laws). Upaya penelitan dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah, atau tidak memiliki arti sama sekali.

B.       Pandangan Penganut Positivisme Terhadap Ilmu Pengetahuan
1.      Auguste Comte (1798 – 1857)
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte dalam karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842) Comte menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap, yaitu:
Pertama, tahap teologis. Peristiwa-peristiwa di alam dijelaskan dengan istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Ketiga, tahap positif. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dijelaskan secara ilmiah.
 Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandanganya tentang objek positif. Jika metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, maka kenyataan yang dimaksud adalah objek positif.
Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa antinomi, yaitu antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’; serta ‘yang mengklaim memiliki kesahihan relatif; dan ‘yang mengklaim memiliki kesahiahan mutlak’. Dari beberapa patokan “yang faktual” ini, positivisme meletakan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya pada fakta yang objektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika. Demikian juga banyak bidang kehidupan lain yang dapat menjadi objek observasi empiris dan dianggap menjadi objek ilmu pengetahuan.
Objek ilmu pengetahuan (scientific proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat , yaitu: dapat di/teramati (observable), dapat di/terulang (repeatable), dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat di/teramalkan (predictable). Syarat pertama sampai ketiga merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkann dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka paradigma  positivisme ini sangat bersifat behavioral., operasional, dan kuantitatif.
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan ini, Comte menganggap bangsa manusia sebagai semacam “Tuhan”.
2.      John Stuart Mill (1806-1873)
Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Ia mengakui bahwa yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman. Karena itu, induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalm ilmu pengetahuan.
3.      Hippolyte Taine (1828-1893)
Ia mendasarkan diri pada paham positivisme dalam bidang sejarah, politik, dan kesastraan.
4.      Emile Durkheim (1852-1917)
Ia menganggap positivisme sebagai asa sosiologi atau mendasarkan diri pada paham positivisme dalam bidang sosiologi. Menurutnya, dalam sosiologi, untuk mencapai kebenaran, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan.

C.       Penggolongan Ilmu Menurut Positivisme
Penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret. Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan August Comte:
a)      Ilmu pasti (matematika)
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan. Karena sifatnya yang teteap, abstrak dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan, malalui ilmu pasti, kita akan memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan dalam tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstrak yang dapat dilakukan akal manusia.
b)      Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan daapat menyusun hukum hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang, bumi, bulan, matahari, atau planet-planet lainnya.
c)      Ilmu alam (fisika)
Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia anorganik. Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak akan dapat difahami, tanpa terlebih dahulu memahami hukum-hukum astronomi. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan hukum, maka akan dapat diramalkan dengan tepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.
d)     Ilmu kimia (chemistry)
Gejala-gejala ilmu kimia lebih kompleks dari pada ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
e)      Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Karena sifatnya yang kompleks, maka cara pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.
f)       Fisika sosial (sosiologi)
Fisika sosial merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika sosial sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu  gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam berkelompok

0 komentar:

Posting Komentar